Tuesday, 25 November 2014

Writing Challenge: My Biggest Fear Before 2014 Ends

Well, so my friend Nita suddenly came up with a very exciting idea: writing challenge! Jadi intinya Nita akan kasih saya satu topik untuk ditulis, saya kasih Nita satu topik untuk ditulis, dan kita berdua akan upload tulisan itu di hari yang sama. 
Topik pertama yang saya dapat sangat mencengangkan: My Biggest Fear Before 2014 Ends. Jujur saja, saya harus mikir keras dan lumayan lama sebelum nentuin mau nulis apa di sini.
Ketakutan terbesar saya tahun ini mungkin kalo saya belum tahu apa yang bakalan saya lakukan di tahun 2015. Saya kerja di mana tahun depan? Sudah bisa mandiri secara finansialkah saya tahun depan? Bisa ngejalanin LDR nggak? Sia-siakah apa yang saya lakukan selama ini?
Ketakutan terbesar saya tahun ini mungkin adalah jika saya menutup tahun ini dan menyadari kalau saya kurang produktif. Saya takut akan kesia-siaan. Saya takut apabila apa yang saya lakukan selama setahun belakangan ternyata nggak ada artinya, hanya buang-buang waktu.
……
Agak susah nulis ini, soalnya saya harus mikirin ketakutan saya dan rasanya nggak nyaman. Ketika tulisan ini selesai, mungkin saya nggak akan nulis secara eksplisit apa ketakutan terbesar saya. Soalnya….Yah… Siapa sih yang mau mikirin sesuatu yang menakutkan?
Kita terlalu terbiasa mengenyahkan pikiran-pikiran nggak enak, menghindari konflik, lari dari masalah. Pokoknya selama masih bisa ditunda, ya jauhi. Kalo udah mendesak banget, baru hadapi.
Sayangnya, meskipun kita tahu bahwa hal itu salah, kita tetap melakukannya. Menghadapi ketakutan memang butuh keberanian besar. Yaiyalah, menurut kalian aja gimana?
Topik pertama ini sebenernya bikin saya agak males nulis. Bikin saya mikir, apa yang udah saya perbuat selama ini supaya saya nggak perlu mengawali 2015 dengan absurd? Saya males mikirin hal itu karena bikin saya khawatir. Saya takut kalo apa yang saya harapkan nggak terkabul, saya takut kalo segala perjuangan saya gagal.
Pernah mikir nggak sih, kenapa ya, meskipun kita tahu bahwa kegagalan itu mungkin terjadi, meskipun kita selalu menyiapkan mental untuk menerima kegagalan, tapi rasanya tetep sakit? Kegagalan bikin kita takut buat nyoba hal baru. Hal yang nggak tau bakalan bawa kita ke mana.
Ah, saya udah makin ngawur nih nulisnya. Maklum, udah malem dan saya udah ngantuk. Makasih ya yang udah nyempetin waktu buat baca. And… Nita, be prepared for your next theme!!

Regards, Suvi Tan Antara
Cirebon, 25 November 2014 - 11.41pm

Sunday, 23 November 2014

Perjuangan Seorang Fresh Graduate

Saya terhitung masih Fresh Graduate, baru lulus tahun ini (Mei 2014) dari President University, jurusan Ilmu Komunikasi. Skripsi kemarin pake Framing, ngebahas tentang pembingkaian berita kontroversi penyelenggaraan Miss World 2013 di Indonesia, membandingkan antara Kompas.com dan republika.co.id.

Emaap, ini bukan lagi interview kerja ya?

Sekarang bulan November ya? Berarti saya udah lumayan lama menganggur, huhuhu. Sekarang statusnya setengah jobless sih, soalnya saya dapet kerjaan freelance di salah satu digital marketing agency di Jakarta, sebagai content writer. Sekarang statusnya lagi nunggu pengumuman beberapa perusahaan, di berbagai tahapan seleksi. Masih semangat? Masihlah!!

Insyaallah nanti kalo sudah lolos seleksi semuanya, saya akan update postingan ini. Kali ini saya ingin kasi tips aja buat temen-temen yang sama-sama fresh graduate dan lagi nyari kerja. Kayaknya bakalan panjang, semoga nggak membosankan yah! *kretekin jari*

Idealisme Vs. Realita

Sebagai mahasiswa yang baru lulus kuliah, apakah pekerjaan impian kita semua? Yak! Tentu saja kita semua ingin bekerja sesantai-santainya dan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya! Yeay! Unfortunately, that kind of job doesn't exist. Kerjaan jadi traveler yang dibayar untuk jalan-jalan tentu aja bikin ngiler, tapi percaya deh, mereka juga bekerja keras untuk bisa ada di posisi itu. Jadi, sebagai mahasiswa yang dulunya dijejali banyak ideologi dan tuntutan integritas supaya bisa jadi generasi pengganti (bukan generasi penerus), kita harus bisa pintar-pintar memilah mana nilai-nilai yang bisa dikompromikan dan mana yang harus terus kita junjung. Ketika menulis ini tentu saja saya belum mengalami gimana pastinya realita dunia kerja. 

Tahapan Seleksi yang Lama

Well, nggak semua perusahaan sih tahapan seleksinya lama. Ada perusahaan yang cepet banget. Saya pernah apply magang di salah satu perusahaan e-commerce, jadi kirim CV sekarang, setengah jam kemudian udah ditelpon diminta datang interview keesokan harinya, dan besoknya saya langsung keterima. Saya mulai kerja 2 minggu kemudian.

Sayangnya, jika teman-teman ingin masuk perusahaan besar yang seleksi karyawannya sangat ketat, proses seleksi ini bisa makan waktu berbulan-bulan. Saya apply ke salah satu BUMN di bulan Mei, dan baru dipanggil untuk seleksi pada bulan Oktober. Salah satu BUMN lainnya, proses seleksinya memakan waktu 5-6 bulan. Padahal zaman sekarang sudah canggih, tapi assessment memang tetap lama. Entahlah.

Jadi ya memang harus sabar, apalagi jika ingin masuk sebagai MT (Management Trainee). Proses seleksinya ada banyak sekali. Tes kemampuan, pemeriksaan psikologi (yang bisa makan waktu seharian, bahkan dua hari!), TOEFL, wawancara HR, wawancara user, hingga medical check-up. Wawancara user pun bisa berkali-kali. Jika satu user merasa kurang cocok dengan teman-teman, biasanya dioper ke divisi lain untuk diwawancara lagi, lagi, dan lagi. Pokoknya membingungkan. Saking lamanya, saya yang tadinya semangat 45 mencari kerja pun sampai sempat ngedown, sampai sekarang semangat lagi. 

Tujuan Bekerja

Nah... Ini kayaknya yang paling bikin galau. Buat saya, tujuan bekerja ini sangat erat kaitannya dengan "Passion vs Money". Kalau memang bisa dapet pekerjaan yang sesuai passion dan bisa mencukupi kebutuhan dan keinginan temen-temen, bersyukurlah banyak-banyak!!! Nggak semua orang bisa mendapatkan kemewahan itu. Passion saya menulis, dan saya ingin kerja di media. Tapi udah jadi rahasia umum kalo kerja di media itu....sakit di dompet. Orang tua saya masih cukup konservatif dan menganggap kalau kerja paling baik ya di BUMN (this is my assumption). Ikatan dinas. PNS. Begitu. Jadi ketika saya dapat panggilan seleksi di perusahaan yang mereka belum pernah dengar namanya, biasanya tanggapannya hanya, "Hmm... Yaudah kamu coba aja." atau hanya, "Oh... Itu perusahaan apa?" Jadi datar banget memang. Kadang-kadang memang bikin sakit hati, hahahaha. However, saya masih percaya kalau persetujuan orang tua = persetujuan Allah. Jadi, menurutlah pada kedua orang tuamu!

Kalau memang ingin cepat kerja, ya terimalah pekerjaan pertama yang menerimamu! Kalau mau gaji gede, ya mendaftarlah ke perusahaan besar, tapi bersabarlah terhadap proses seleksinya. Kalau mau nurut sesuai passion, terimalah konsekuensinya. Pokoknya, kita harus siap dengan segala dampak yang timbul dari hasil keputusan kita.

Suvi ngomongnya udah kayak yang paling sukses aja, heu.

Siap Mental

Ugh, saya udah lumayan terlatih banget sama yang satu ini. Serangan mental bisa datang dari mana saja: orang tua, keluarga besar, tetangga, temen-temen, perusahaan, gebetan, mantan, pacar, dan lain-lain! Eh? Nggak percaya? Seriusan!!

"Sekarang kerja di mana?" - datang dari berbagai kalangan
"Kamu mau sampai kapan santai-santai di rumah?" - biasanya dari orang tua
"Kamu apa kabar? Mama nanyain tuh, kenapa gak pernah ke rumah lagi?" - biasanya dari mantan
"Maaf, kamu terlalu baik buat aku." - pacar yang ngajakin putus
"Kami telah menemukan kandidat yang lebih cocok untuk posisi ini." - dari perusahaan yang nolak kita
"Kok sampe sekarang belum kerja sih?" - berbagai kalangan
"Kemarin aku jalan sama dia...." - gebetan yang ternyata suka sama cewek lain
"Kelakuan orang kantor nih!" - postingan Path, biasanya disertai foto-foto



Pokoknya banyak deh. 
Jangan sampai hal-hal kayak gini menyurutkan niatmu untuk mencari kerja yang layak.
Jangan.
Pokoknya jangan.
Jangan ya. Nanti nyesel sendiri.

Orang-orang nggak ngerti perjuangan apa yang teman-teman lewati. Let it flow aja. Rezeki kan Tuhan yang ngatur. Kalau kita gagal di perusahaan ini, mungkin takdir kita di perusahaan anu. Jangan patah semangat!! (Sebenernya ini lebih untuk menyemangati diri sendiri wahahaha)

Saya pernah ditolak tiga perusahaan dalam waktu kurang dari seminggu, dan ketiganya gagal di tahapan psikotes. Wah. Memangnya kepribadian saya seburuk itu ya? 

Selalu jadi juara umum ataupun IPK selalu di atas tiga koma nggak menjamin kita pasti dapat pekerjaan. I got so many life lessons only from recruitment(s). 

Thank you for reading!!!! :)

P.S.
Besok saya akan menjalani tes kesehatan untuk salah satu perusahaan BUMN. Doakan lolos, ya, supaya bisa bercerita lebih banyak!


Tuesday, 4 November 2014

Writing as an Obligation

I have been wanting to be a writer since like seven years ago, but I haven't written anything book-ish since then. Pathetic, right? My extremely short attention span was the first thing I blame. The truth is, I am afraid that no one will read and respond what I write and I am scared that I will not finish even a 300-500 words piece of writing. In fact, I should write everytime I can to keep myself occupied with writing.

The last time I write voluntarily was more than a month ago and it is saddening. I call myself a writer yet I don't write for more than a month?

Of course I have many ideas running inside my head. Of course I want to write everyday. Yet. I. Procrastinate. Everyday. Too. I can find many reasons to postpone writing. I need silence. I need good cafe. I need company. I need coffee. I need rain. My mood is screwed at the moment. I need inspiration. And. Many. Others.

I need to stop this and start writing again. No matter how short it is.

Sunday, 28 September 2014

Tentang Indonesia, Sebelum Kita Semua Dilarang Berbicara

Saya memang nggak sepintar Pak SBY, Pak Tifatul Sembiring, Ibu Sri Mulyani, Pak Jokowi, Pak Ridwan Kamil, Ibu Risma, maupun Pak Prabowo Subianto. Kalau saya dipilih jadi presiden, saya pasti stres mengemban tanggung jawab itu. Mikirin Indonesia dari rumah sambil nonton TV aja pusing, gimana kalau jadi presiden?

Tapi Pak Beye, Bapak dipilih oleh rakyat karena rakyat percaya bahwa bapak adalah yang terbaik dibandingkan calon-calon presiden yang lain. Apalagi di tahun 2004, bapak terlihat sangat gagah dan karismatik. Bersanding dengan Pak JK, rakyat merasa bahwa sepeninggalan Pak Harto yang dingin itu, Gus Dur yang dianggap kurang mumpuni dan ngawur, serta rasa perih selepas Ibu Mega menjual aset Indonesia, akhirnya negara ini akan memiliki pemimpin yang terasa dekat dengan rakyatnya.

Lima tahun kemudian, rakyat masih percaya sama Bapak. Kondisi Indonesia yang cukup stabil, apalagi setelah berhasil 'bertahan' dari guncangan krisis ekonomi yang melanda dunia, terutama Amerika Serikat dan Eropa saat itu, rakyat merasa pantas memercayakan kembali jabatan presiden kepada Pak Beye, tidak peduli ada atau tidak wakil presidennya. 

Ternyata, Pak. Ketika Bapak punya kesempatan untuk mengakhiri masa jabatan Bapak dengan tenang (meskipun rakyat capek juga dengerin keluhan Bapak), Bapak malah menodainya dengan menginisiasi RUU Pilkada oleh DPRD. Rasanya kayak petir di siang bolong, Pak. Kayak lagi panas terik malah hujan, nggak jelas. Tindakan walkout-nya Partai Demokrat dari Sidang Paripurna itu lebih-lebih, Pak. Apalagi mengatasnamakan rakyat. 

Bapak sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia harusnya paling mengerti, Pak. Puluhan juta orang memilih Bapak jadi presiden, karena percaya bahwa Bapak nggak akan mengembalikan bangsa ini ke Orde Baru, di mana hak-hak asasi manusia dirampas seenaknya. Dipenggal semena-mena. Dihilangkan.

Pagi ini, Pak Tifatul Sembiring ngetwit tentang Twitter, Pak, dan kekuasaan pemerintah untuk membolehkan atau melarang rakyatnya untuk ngetwit. Kelihatannya memang sepele, Pak, tapi buat saya itu penting. Tifatul memang juga sudah bilang kalau beliau nggak merencanakan untuk melarang rakyat Indonesia untuk ngetwit, tapi dengan beliau mulai menaruh perhatian ke arah sana, saya khawatir. Saya khawatir kalau nantinya saya nggak bisa menyuarakan pendapat saya lagi. Di manapun.

Pak SBY, Pak Tifatul. Saya memang nggak tau kerjaan Bapak kayak gimana, apa saja yang sudah Bapak-Bapak lakukan. Yang rakyat lihat adalah hasilnya. Hasil dari keputusan-keputusan Bapak-Bapak lah yang akan memengaruhi hari-hari kami. 

Kalau Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih DPRD, siapa yang bisa menjamin kami bisa dapat pemimpin layaknya Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, dan Risma? Bapak mematikan harapan rakyat justru ketika harapan itu mulai ada. 

Kalau orang-orang seperti Tifatul, yang justru di era modern seperti ini malah bertanya, "Internet cepat buat apa?" tetap ada, Pak, gimana Indonesia mau maju? Negara-negara maju tingkat literasinya sudah diukur dari kecakapan menggunakan komputer dan internet. Orang Indonesia masih banyak yang buta huruf. Oh, dan Muhammad Nuh juga bikin susah pak, dengan Kurikulum 2013 itu. Pelajaran TIK bikin anak-anak kenal pornografi? Bahasa Inggris bikin siswa gak nasionalis?

Pak Beye nemu di mana sih orang-orang kayak gitu? Kok ada banyak? Atau Bapak sebenernya lagi nunjukin orang-orang yang nggak layak dipilih lagi ya, Pak? Bapak baik banget sih.

Saya baca berita, katanya yang menginisiasi walkout itu bukan Pak Beye. Pak Beye nggak tau apa-apa tentang walkout itu. Nah, itu bukannya namanya ngelangkahin kekuasaan Bapak? Kok Bapak nggak marah? Bapak ngomong sesuatu dong di tivi, biar rakyat tuh tau andil Bapak sebenernya tuh bagaimana. Kalau keadaannya kayak sekarang kan saya ngiranya Bapak diperalat Partai Demokrat. Nanti pada suudzon lagi, ngatain pejabat dijerat UU ITE lagi. Salah rakyat aja pak semuanya. Salah milih Bapak? Salah milih anggota DPR? Salah milih anggota DPRD? Bapak ngomong sesuatu dong. Kan lumayan buat pencitraan Pak, bisa minta perlindungan rakyat. 

#ShameOnYouSBY udah sempet jadi Trending Topic World Wide loh, Pak. Masa Bapak nggak mau ngomong apa-apa tentang itu? Nanti nggak jadi loh, jadi Sekjen PBBnya. Kalau pidato entar yang menggelegar gitu dong, Pak, kayak Emma Watson. Saya kan jadi terharu nontonnya.

Pak Beye mungkin disanjung-sanjung di kancah internasional. Jangan terlalu jauh pak terbangnya, sampe lupa daratan. Lupa kalau urusan dalam negeri banyak yang Bapak telantarkan.

Semangat, Pak Beye.




Saya menulis ini sesuai kapasitas saya. Kalau ada argumen yang anda nggak setuju, nggak masalah. Kalau ada fakta yang kurang tepat maupun salah, tolong dibenarkan. Terima kasih.

Friday, 5 September 2014

ISFiT 2015, The Biggest International Student Festival Is Around the Corner!


I first knew about ISFiT from three friends of mine who uploaded their photos attending ISFiT 2013. I thought, “Whoa. What is it? It seems awesome!” I asked them about the event, and they told me that it was a kind of international festival from students. I googled about ISFiT afterwards.

Cool, man. It really is an awesome event.

ISFiT stands for International Student Festival in Trondheim (Norway). It is the biggest student festival on the globe. Yes. It. Is. Therefore, of course you have to be excited. 

I decided to join the next ISFiT, but it turns out ISFiT is only held once every two year. I had just graduated from my university, so currently I am not a student. Therefore, I think I will not be able to participate in ISFiT 2015. 

Issaka Ouro-Wetchire, ISFiT 2015 Ambassador from Togo

Then, on a sunny day several weeks ago, I suddenly felt the need to open www.isfit.org and found a way to participate in it. It was to become an ISFiT ambassador. I filled up the registration form, and apparently I was chosen as one of the ambassadors! ISFiT said that I should get my ambassador package which will let me know what I should do as one, but I haven’t got it yet. However, I believe I should not wait for it any longer because I can just tell you through my writing how awesome ISFiT 2015 will be!

“ISFiT is a non-profit organization and is brought to life with the efforts of more than 400 student volunteers. The vision of ISFiT is to create a better future for young people in the world. ISFiT is arranged every other year, and each festival has a theme related to social and political topics with international relevance. The festival is held in the city of Trondheim, Norway. Here, over 450 students from all over the world gather to attend 18 different workshops and take part in the cultural program of the festival.” - ISFiT website.

We, the young generations of Indonesia, should feel excited about ISFiT 2015’s theme because it is about CORRUPTION. I believe that you are included in the part of this country who wants to make Indonesia better. I believe that you want to take actions to bring Indonesia into betterment, too. I know some of you are getting sick of how Indonesian government rule this nation. ISFiT gives us, the young generations of Indonesia, a great opportunity to do more for our nations. If you want to give something to Indonesia, I believe joining ISFiT will be one fabulous way to start.

In my opinion, corruption is not always about a government officer who steal money from our country. Yes, it is a very terrible way of corrupting, but we can’t just focus on that big thing without concerning about the small ones. Corruption is not always about stealing money. Corruption is cheating with time, stealing someone’s happiness, be injustice, act indifferent, and whatever that is not beneficial. If we do not act from ourselves, we will not be able to change our nations. Every change should start from within, right? :)

I really encourage you to join ISFiT 2015! You may join as a participant or ambassador, just like me! Spare your time to read about the event, and register yourself on https://www.isfit.org/tabs/be-a-part-of-isfit. If you have any inquiries, you can contact me at anytime and I will be happy to help.


Be inspiring!

Saturday, 9 August 2014

Hubbub

It has been a really long time since the last time I wrote in here. Truth be told, I have saved so many drafts in this blog, but all of them got stuck so I did not post anything for more than a month. I mean, you can see many spider webs on every corner of this blog.

I am a fresh graduate, and many have asked my what I am going to do with my life. Honestly, I have sooooo many plans to be executed, but yes I am still confused. I want to go to school again, pursue my master's degree. Yet, I can't do that with my parents money because they have told me that they can't afford more education for me so I have to go by myself. Of course my first plan is to look for a scholarship. I found one that interested me most and I decided to try for Indonesian university. Then, people are asking, why don't I try overseas? Let's see.... How do I answer that question?

Some of my close friends know that I really want to go study in New Zealand. In Auckland University, to be exact. So why I don't pursue it now?

I feel insecure. I have nothing to guarantee living in New Zealand, and by nothing I really mean nothing. Of course there will be settlement fee from the scholarship, but I still feel insecure. This is my biggest dream and I want it to be perfect (now I'm heard like a girl who is about to lose her virginity where she wants it to be 'special'). I am afraid if I reach my biggest dream now, I would lose something. I would lose my goal. I always dream of going abroad with my own ability. In my mind, that means working then studying in Auckland with my own money (or still, scholarship). If I reach that now, I am afraid I will lose myself.

I also want to work, of course. However, this is also a really difficult consideration. I want to get a job that I love so much so I don't feel like working. I want to pursue my passion. I want to work passionately and it's hard. And I need money to live. I can't just look for any random job because I think it's interesting, I need to think hard.

Several days ago, I received an email, an interview invitation from a company in Jakarta. The email was sent at 5.10pm, and it asked me to attend an interview the day after. I was shocked. I live in Cirebon and for me that was too sudden. Then, I wrote a request to reschedule the interview. Unfortunately, until today I do not receive any response.

I mean, I know for some part, it was my fault because I did not attend the interview for that simple reason. My parents were okay with that, but I think today they do not. They start commenting on my daily activities and somehow it disturbs me. You know, I really want to make them proud of me but I just feel like... this is not how it is supposed to be. I want to say many things but I am worried if they think that I am ungrateful. You know, as a daughter, sometimes I feel the need to be supported. I also need to be understood. If I told my friends, I am afraid if they will think bad of me. See, sometimes people only want to be heard, right?

I know, I have so many things to be grateful about. I have parents who are really care of me, a shelter to live, food on the table every time I want to eat, and many more things. I would not be a bachelor if it weren't because of them. 

The thing is, sometimes I need to be supported emotionally. I need to feel secure. And today I do not feel secure. 

I do not know what will happen after I finish writing this. I only want to share something on my blog. I want you to know that even I feel insecure sometimes and it is okay. Other people feel that, too. You are not alone.

Thursday, 26 June 2014

Pringles Sour Cream and Onion

Bukan, ini bukan postingan sponsor. Judul itu cuma mengutarakan cemilan favorit saya yang baru. Awalnya banyak yang posting gambar Pringles Sour Cream & Onion di ask.fm terus jadi penasaran deh. Pas nyobain eh doyan.

Kali ini mau nulis tapi nggak pake struktur yang mikir banget. Capek juga dari kemarin-kemarin nulis dapet banyak tapi nggak ada yang selesai. So tonight I'll just blurt it all out without second thought. I really need to get back on my writing track and I think this is the best way for now. Lagian, tujuan saya bikin blog ini emang untuk latihan nulis kan? Kebanyakan mikir malah nggak ngehasilin apa-apa :(

Barusan ngeliat di timeline Twitter, ada yang ngeshare foto Taeyeon (leader SNSD tuh) yang abis nangis di airport. I'm not interested in knowing why she cried, tapi kelihatannya ada hubungannya sama kabar kalo dia udah resmi pacaran sama seorang laki-laki bernama Baekhyun (personil boyband EXO). Since I am not a big fan of Korean Pop, jadi pacarannya mereka ini ya nggak berpengaruh besar sama kehidupan saya sehari-hari.

Gambar nyomot dari Google Images

Eh, ternyata.

Berita ini punya pengaruh besar sama fans-fansnya Taeyeon, SNSD, EXO, Baekhyun, lengkap beserta anti-fans masing-masing. Wah gila, pikir saya. Masa gara-gara artis pacaran aja mereka sampe heboh gitu? Yang bener aja?

*makan Pringles lagi*

Saya nggak niat-niat banget sampe browsing artikel-artikelnya, terus buka situs fansnya, dll sih. Saya cuma nikmatin apa yang muncul di timeline saya. Ada yang menghujat, ngata-ngatain, ada yang ngungkapin dukungan ke Taeyeon. Bahkan ada yang nyebut personil SNSD sebagai 'manekin' dan nggak diucapkan dalam konteks yang bagus. I mean, seriously? Gila ya, ngefans sih ngefans tapi nggak bikin kita boleh ngelabelin seseorang gitu dong, apalagi secara fisik (I must say sorry for my hatred to Farhat Abbas, but....well).

Personil-personil SNSD kan cantik-cantik banget, badannya bagus-bagus, boyband/girlband dan artis-artis Korea yang lain juga, tapi masiiiih aja ada yang ngatain.

"Tapi kan mereka (personil SNSD) fake semua! Hasil oplas!"
Ngatain gitu menurut saya justru ngungkapin kedengkian.

Saya sempet antipati buanget sama K-Pop, terutama karena fans-fansnya yang menurut saya terlalu fanatik. Untungnya, waktu saya kelas 3 SMA, temen-temen saya ngenalin saya sama beberapa program reality show Korea yang menarik (dan penuh dengan cowok ganteng), dan saya suka. Pas SMP juga saya doyan kok nontonin drama Korea, apalagi Full House sama Jewel in the Palace!

Disitu ya saya sadar kalo artisnya bukan untuk dibenci. Kalo nggak suka sama artis/program acara, ya jangan ditonton. Hanya saja, selalu jadi hiburan buat saya untuk ngetawain fans-fans K-pop ini soalnya lucu-lucu. Coba deh cari di Facebook atau googling percakapan fanbase sama anti fansnya, hahahaha. Saya sampe pernah di-mute di Twitter gara-gara ngatain satu boyband dan fansnya sensi sama twit saya.

(Saya juga nonton Running Men kok dan emang acaranya bagus! I stopped watching it regularly since Song Joong Ki nggak jadi regular member lagi)

Balik lagi ke masalah Taeyeon sama Baekhyun ini. Haduh, nggak pada seneng apa mereka udah boleh pacaran sama SM? :(
Coba bayangin kalo kalian baru dapet restu boleh pacaran sama orang tua tapi ternyata temen-temen malah ngatain pacar baru kalian? :(
Apalagi kan Taeyeon cantik dan Baekhyunnya ganteng :( (abis googling)

*Makan Pringles*

Thursday, 5 June 2014

Review Buku: Burlian by Tere-Liye

Gambar didapat dari pencarian Google
Alasan pertama saya tertarik membaca buku ini adalah karena judulnya yang unik. Burlian, Serial Anak-Anak Mamak. 

Saya udah lama nggak baca buku yang menceritakan anak-anak. Terakhir kali mungkin pas baca majalah Bobo punya Panca dan itu sudah lama sekali. Jadi ketika saya nemuin buku ini di toko buku, saya langsung tertarik. Apalagi saya juga memanggil ibu saya dengan sebutan Mamak. 

Sebenarnya saya selalu jengkel dengan cara Tere-Liye bercerita, tapi saya tetap saja membeli buku-bukunya. Tere-Liye seakan nggak ikhlas kalau tokoh-tokoh di dalam bukunya bahagia terus-menerus. Sebagai pribadi yang selalu mengharap kebahagiaan, jelas saja saya jengkel setengah mati sama buku-buku yang ditulis Tere-Liye (yang telah saya baca).

Burlian adalah anak ketiga dari 4 bersaudara. Ia tinggal di Sumatera. Buku ini sebenarnya hanya menceritakan keseharian Burlian dan keluarga serta teman-temannya, tapi saya berhasil tenggelam dalam cerita-ceritanya. Buku ini nggak kayak novel yang punya satu cerita, satu konflik besar yang harus diselesaikan. Buku ini isinya sekumpulan cerita yang tanpa kita sadari berhubungan satu sama lain. Namun, di tiap judul babnya, Tere-Liye punya fokus tersendiri. Beberapa kali saya nyaris menangis membacanya, sebab buku ini sangat menyentuh.

Seperti yang saya bilang, saya jengkel sekali sama Tere-Liye. Beberapa bab awal nyaris tidak ada cerita yang berdampak besar sama alur bukunya, jadi saya agak bosan membaca 75 halaman pertama bukunya. Apalagi, ada satu cerita yang saya harap berakhir bahagia namun ternyata tidak. Bukunya ingin saya banting, saya robek-robek saking jengkelnya. Tere-Liye punya masalah apa sih sampai-sampai bercerita saja akhirnya harus menyedihkan seperti itu?

Tenang aja, bukunya nggak jadi saya banting dan robek-robek.

Beberapa bab setelahnya lebih baik. Tere-Liye kayaknya udah nggak berminat membuat saya menangis sedih lagi. Eh, selanjutnya ia bikin saya nangis lagi. Lebih dari tiga kali, rasanya. Seperti yang selalu saya rasakan setiap baca bukunya, Tere-Liye membuat ceritanya ini berakhir bahagia, tapi selalu ada yang mengganjal. Entah apa.

Menurut saya buku ini bisa dibaca siapa saja, mulai dari anak SD hingga kakek-nenek. Tere-Liye hebat, bisa membuat buku seperti itu. Ceritanya ringan, hanya menggambar keseharian seorang anak kampung, tapi pesan yang disampaikan ada banyak sekali. Tentang tidak pernah menyerah menggapai cita-cita, tentang menurut kepada orang tua, tentang mendapat konsekuensi atas segala perbuatan, tentang rasa ingin tahu seorang anak, tentang keikhlasan, banyak sekali. Semuanya bisa didapat dari hanya satu buku.

Serial Anak-Anak Mamak ini ada empat buku: Burlian, Amelia, Pukat, dan Eliana. Mereka semua anak-anak Mamak. Saya baru baca satu judul, dan pasti akan membaca yang lainnya.

Very recommended. 

Thursday, 17 April 2014

Partisipasi Politik?




Karya Wiji Thukul, salah satu aktivis reformasi yang masih hilang

Ya, kita memang punya pendapat masing-masing tentang bagaimana mahasiswa harus memberi kontribusi untuk negaranya. Ada yang berpendapat lebih baik kita berprestasi di luar negeri, mengikuti beragam kompetisi internasional dan membawa nama Indonesia. Meskipun nggak menang, paling tidak kita punya partisipasi di dalamnya dan menunjukkan keeksisan negeri ini. Jika menang ya akan membuat bangga.

Ada pula yang berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kunci. Partisipasi politik di sini bisa berupa demonstrasi mahasiswa, mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, berorganisasi, dan lain-lain. Beberapa berpendapat bahwa demonstrasi itu tak ada gunanya, kurang cerdas, dan selalu anarkis dan vandalis. Saya sendiri kurang setuju dengan adanya demonstrasi, sebab di zaman ini kita punya banyak media yang mampu menarik perhatian para penguasa dan awak media massa. Saya pikir cara itu akan lebih efektif dalam penyampaian pendapat.

Ya, seperti saya mbikin tulisan ini, sih.

Beberapa hari ini Indonesia sedang ramai-ramainya. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang mengguncang. Mulai dari kasus sodomi anak TK internasional, keluh kesah seorang cewek di KRL, penolakan kedatangan salah satu universitas negeri di Indonesia terhadap satu capres, hingga kisruh dunia Twitter yang menampilkan seorang selebtweet yang menunjukkan dukungannya terhadap capres yang lain, yang kemudian dicerca oleh selebtweet lainnya.

Kumpulan berita-berita itu entah kenapa membawa saya ke halaman-halaman Wikipedia, portal berita, hingga blog orang, ngebacain satu-satu artikel-artikel berkaitan tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Mulai dari Pembantaian PKI 1965-1966, Tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, Penculikan Aktivis HAM di era Orde Baru, sampai kematian Munir dan Aksi Kamisan yang ternyata masih berlangsung sampai hari ini. Kalau ingin tahu kejadian-kejadian itu, monggo dicari via Google :)

Perasaan saya ketika baca tulisan-tulisan itu: Takut. Serem. Bersyukur karena saya nggak tinggal di zaman itu. Bersyukur karena saya nggak ngerasain dan terlibat langsung di situ. Karena saya takut. Nyali saya tidak sebesar itu untuk menginisiasi pemberontakan terhadap pemerintah yang berkuasa. Saya membayangkan kejadiannya, saya mencari foto-fotonya melalui Google Images, dan ternyata mengerikan. Orang-orang mati terkapar di jalanan, polisi dan mahasiswa saling melempar batu dan entah apalagi, hingga ada peluru nyasar ke kepala anak kecil :(

Tapi tanpa mereka mungkin kita nggak bisa ngerasain reformasi, nggak ngerasain kebebasan berpendapat, nggak ngerasain kebebasan buat nulis dan komentar apa aja tentang segala sesuatu yang menarik perhatian kita. Kalo zaman dulu kan, kalau kita ketahuan ngatain pemerintah dan menurut pemerintah kita mengancam, ya udah siap-siap aja.......entahlah. Ngilang?

Sekarang, saya yang tinggal di Grogol dan kalau ngantor ke Pancoran, tentu tiap hari lewat Semanggi. Lewat Halte Grogol, lewat depan Universitas Trisakti, lewat Gedung DPR/MPR,  lewat halte Semanggi. Dan saya tahu di mana letak Universitas Atmajaya. 

Ketika Tragedi Semanggi I, II, dan Trisakti terjadi, saya masih kecil, masih umur 6/7 tahun, jadi belum ngerti banyak. Sekarang saya bisa ngebayangin letak-letak kejadiannya. Saya memang nggak bisa bayangin gimana chaos-nya, tapi saya tahu, saya akan ngerasa sangat ketakutan kalau ada di sana.

Saat ini, ketika kita udah hidup cukup enak (paling nggak lebih enak dari zaman Orba maupun ketika tahun-tahun pembersihan PKI), kita mau apa? 

Saya juga belum bisa jawab pertanyaan itu, jika saya tujukan kepada diri saya sendiri.

Bertahun-tahun lalu, mahasiswa Indonesia resah sama rezim Soeharto. Resah dengan dibungkamnya hak berpendapat secara bebas. Mereka lelah terhadap semua itu kemudian memutuskan memberontak. Kita nggak mau kan masa-masa itu kembali lagi?

Kalau kita perhatian sedikit sama politik, kita akan tahu beberapa (sebagian besar, malah) calon pemimpin kita malah punya masalah sama korupsi maupun pelanggaran HAM. Mantan Jenderal yang terlibat langsung dalam kasus Penculikan Aktivis, orang kaya yang punya masalah besar di salah satu perusahaannya, pemilik media yang nggak bisa misahin aktivitas politik sama jurnalisme, dan lain-lain. Mau punya pemimpin kayak begitu?

Pemilu legislatif kemarin saya nggak berpartisipasi, tapi saya berharap bisa ikut nyoblos di pemilu presiden. Sampai sekarang, saya belum tahu siapa yang akan saya pilih, tapi saya yakin atas siapa yang nggak akan saya pilih. Saya takut. Saya takut kejadian yang dulu akan terulang lagi dan saya akan mengalaminya. Hidup di rezimnya.

Emang sih, nggak ada gunanya kita terus-terusan nengok ke masa lalu, tapi apa yakin kita mau melupakan pelanggaran HAM yang menggemparkan seluruh negeri, teringat hingga kini, dan belum jelas kapan akan selesai?

Saat ini saya mungkin belum bisa banyak beraksi, tapi saya bisa mulai peduli.

Sunday, 13 April 2014

Satu Mimpi Sebagai Penghalang Yang Lainnya

Jadi ceritanya kemarin saya nemenin roommate kosan saya, Neo, nyari kebaya buat wisudaan nanti. Alhamdulillah kebaya + pernak-perniknya dapet. On our way to the mall where we bought the kebaya, in the taxi, the radio played one of Nidji's finest song, "Laskar Pelangi". My mind suddenly went far away from the backseat of the car.....

I suddenly remembered about my very huge dream of having my Master's Degree in New Zealand.
I suddenly remembered about my passion to become a writer of a fashion magazine or TV reporter.
I suddenly remembered about my goal to live in Europe and experience a very classic lifestyle; hang out with my husband to a cafe in Italian street and writing.
I suddenly remembered about my dream to be a career woman with my fat salary and awesome way of living.
I suddenly remembered about my dream to live in a small city with my lovely husband and children (maybe Yogyakarta, Semarang, Malang, or even Madiun).
I suddenly remembered about my dream of working at majalah Bobo, simply because it is my favorite.

Then I realized that I have a bunch of dreams that are clashing with the other.

Oke. Maaf ya karena bahasa yang saya pakai untuk nulis di sini suka nyampur-nyampur. 

Kemudian saya jadi entah semangat entah malah patah arang. Bagitu banyak mimpi yang ingin saya gapai, tapi saya nggak bisa memilih semuanya sekaligus. I also want to be a lecturer in a university, but I have to finish my Master's Degree first. Either way, saya harus jadi praktisi supaya mumpuni untuk mengajar. Akan lebih baik jika saya bisa mengajar di universitas yang bagus dan di kota yang tidak terlalu metropolis. Solo, misalnya. Semarang. Yogyakarta. Cirebon. Saya lelah dengan hingar-bingar ibukota (will make a separate blog post about this topic). Saya ingin menjadi wanita karir dengan gaji besar namun saya ingin tinggal di kota kecil. Agak susah, ya?

Kalau inget lagi sama lagunya Nidji yang Laskar Pelangi itu saya rasanya ingin langsung berlari. Pengen langsung turun dari taksi terus ngelamar di semua perusahaan majalah favorit saya. Lalu harap-harap cemas berharap saya diterima di salah satunya.

Selama ini saya berpikir terlalu kompleks sebelum mengingat bahwa sebenarnya mimpi saya begitu sederhana. See, I can describe each of my dream into a sentence. My problem is that I have so many clashing dreams I want to pursue.

Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya

 Kadang saya pikir saya takut menghadapi dunia kerja ketika saya ingin lanjut S2. Tapi ketika saya memutuskan untuk mengejarnya, saya ingin punya pengalaman kerja. Ruwet.

Sampai akhirnya saya menyadari bahwa sebenarnya saya hanya butuh menjawab satu pertanyaan.

Apa yang saya cari?
 

Friday, 21 March 2014

'Cause I Remember It All Too Well

This post is inspired by Taylor Swift's song titled All Too Well. I don't know if this post has any relations whatsoever with the song, I was just driven to write something after I listened to it.

Sometimes I got really emotional over something unimportant. Or something bad that I remembered. Don't you just hate the fact that you are able to remember bad things better than the good ones?? Freaking annoying. I think that is why we learn lessons more on bad experiences than the good ones.

I will write a piece about love, this time. If you're currently scrolling your eyes after reading the previous sentence, I suggest you to immediately leave this page and go browsing for some more interesting sites. I will (maybe) whine a lot here. I will complain a lot, too. If you stay, I appreciate your visit and your willingness to spend some minutes of your precious time to read my writings. Especially with these very long introduction.

Well, sometimes I hate my ability to remember bad things, bad memories, bad experiences, bad embarrassing moments. I just ain't able to let it out of my mind. The worst usually comes when I face my Pre-Menstrual Syndrome. Not only I am emotional in default but also very sensitive. Especially when it comes to my romantic life.

I hate that I can love each person differently. I mean when I had a relationship with a guy, I would be loving each of them differently. I might be very indifferent at once, but very protective the other time. Sometimes it's contradictive, sometimes it's similar. It's an agony to be very insecure. It's nightmare.

Have you ever loves someone so so much you even think it's better for you to let go? I had this scary thought sometimes. I'm very afraid of getting hurt and being rejected, I even consider being alone is better. I believed it's better for me to hurt myself than letting other people do it instead. The other scary thing is that we never know if our decision is right or wrong. Life keeps surprising.

Sometimes I feel dumb. I mean, I know I'm not a stupid human being but this love thing always has a way to fool me. I'm being used. I'm betrayed. I'm tricked. I'm trapped. And I don't have any slightest idea how to get off of this. It hurts my pride, it defeats my dignity. I'm a loser.

I forgive again and again but I never forget. I think I'm very dumb at this because I (am able to) love a boy too much I always forgive him after doing the same mistake over and over again. Some of you call it loyalty, some might think it's stupidity. I don't know.

I'm suddenly out of words. This is bad. I must work on my next posts. Catch you later, people.
Have a nice weekend!

Friday, 7 February 2014

TUKANG SOL SEPATU KELILING

Gambar diambil dari www.flexmedia.co.id.

Kira-kira pertengahan Januari 2014 kemarin, saya main ke Bandung. Sebenernya bukan main sih, tapi ngungsi dari Jakarta karena kebanjiran. Waktu itu saya bingung mau ke Bandung atau Cikarang atau Cirebon (karena saat itu masih pagi dan saya ngantuk banget). Saya kemudian ngambil keputusan mendadak –mendadak karena keputusannya diambil sembari saya ada di atas Bus TransJakarta, untuk pergi ke Bandung.

Sebenernya inti ceritanya bukan itu.

Jadi di suatu siang, saya pergi beli makan (dari kosan saya ke mamang ketoprak jaraknya nggak sampai 50 meter). Ketika saya balik lagi ke kosan temen saya, ternyata kosannya dikunci, dan di depan kamar kosan temen saya itu ada seorang bapak tukang sol sepatu yang lagi ngebenerin sepasang sandal (yang kelihatannya punya temen saya). Karena saya nggak punya kunci duplikat, dan kunci duplikat yang saya cari (di tempat persembunyian yang biasa) nggak ada, saya akhirnya duduk di sofa depan kosan temen saya sambil ngeliatin bapak tukang sol sepatu ini.

Selanjutnya mari kita namai bapak tukang sol sepatu ini sebagai Pak Madun. Kenapa Madun? Yagitudeh.

Pak Madun menjahit sandal temen saya dengan terampil, menggunting benang, membuat simpul, menusuk sandal di sana-sini, menyambung jalinan asmara yang tadinya putus, dan berbagai hal umum yang biasa dilakukan seorang tukang sol sepatu. Alat pertukangan yang dibawa Pak Madun nggak banyak. Ia hanya membawa dua buah kotak yang isinya sol sepatu bekas, karet ban dalam mobil, benang (yang digunakan untuk ngejahit sepatu), dan beberapa lainnya yang saya nggak tau nama dan kegunaannya.

Pak Madun ini orangnya udah tua, mungkin umurnya sekitar 60an tahun. Kulitnya keling dengan urat yang kelihatan di mana-mana, terutama di bagian lengan. Setelah selesai dengan sandal sebelah kanan, beliau ngelanjutin ngejahit yang sebelah kiri. Bagian yang tadinya putus dan terpisah dirapatkan lagi sebelum dijahit. Saya yakin sandal yang dijahit Pak Madun telah menjadi lebih kuat.

Saya hanya memerhatikan Pak Madun selama kurang lebih lima belas menit sebelum teman saya datang. Namun ternyata apa yang saya pelajari lebih lama masanya dari hal itu.

Pertama, saya masih ingat kejadian itu padahal sudah lewat hampir sebulan. Pak Madun cukup memberikan kesan kepada saya. Yah, gimana ya. Zaman sekarang kayaknya udah jarang banget orang-orang pake jasa tukang sol sepatu, apalagi di kota-kota besar. Saya jadi kepikiran berapa yang bisa didapat sama Pak Madun setiap harinya dengan jadi tukang sol sepatu.

Kedua, sekali lagi (dan untuk kesekian kalinya), kita harus bersyukur sama apa yang udah kita punya. Kalau kamu bisa baca tulisan saya ini, kamu harus bersyukur karena bisa mengenal teknologi, punya koneksi ke internet, kemudian baca tulisan saya. Saya juga harus bersyukur karena bisa punya sarana untuk menuangkan ide-ide di kepala. Saya yakin, jika kita bisa terhubung ke internet, berarti kita punya ‘uang lebih’. Kalo saya Pak Madun, mana mungkin saya mikirin nulis di blog kalo isi perut saya aja nggak terjamin hari ini?

Saya yakin ini hal yang klise dan udah banyak yang bercerita. Bagaimana kita harus bersyukur atas apa yang kita punya. Bagaimana masih banyak orang yang lebih menderita dari kita. Bagaimana kita harus membantu sesame, dan banyak hal lainnya. Satu hal yang saya yakini, hal-hal klise itu akan terasa lebih special apabila terjadi di sekitar kita. Seperti saya yang bertemu Pak Madun.

Semalam Bapak telpon, mendengarkan curhatan (keluhan, lebih tepatnya) saya tentang kekhawatiran saya akan masa depan. Bapak bilang kayak gini.

“Kamu harus bersyukur karena kamu masih muda. Masih banyak kesempatan yang bisa kamu ambil. Jangan seperti Bapak. Bapak sudah umur segini, sudah nggak punya banyak kesempatan. Dulu Bapak pengen kuliah, tapi kondisinya nggak memungkinkan. Kamu harus bersyukur karena dikasi kesempatan yang nggak Bapak dapetin.”

P.S. Itu bukan foto Pak Madun. Saya hanya browsing di Google dan mencari foto yang paling mengingatkan saya pada Pak Madun.