Thursday, 30 January 2014

Thesis Defence

I finally finish my thesis final draft. It was no easy work, yet I was excited to do every single page of it. I complained and whined a lot, but I enjoyed working on it. Now, I am really really happy I could hand it in on time. At the last minutes, actually.

My thesis defence will be around 10-14 February 2014. Wish me luck^^

Sunday, 26 January 2014

Jendela Apartemen

Saya sedang duduk di Central Park memandangi Apartemen Mediterania ketika satu hal memasuki pikiran saya,

"Apa yang orang-orang lakukan di dalam apartemen mereka?"

Nggak semua orang nyalain lampu apartemennya. Mungkin apartemen itu emang kosong nggak ada yang punya, mungkin pemiliknya masih ada di jalanan ibukota, mungkin pemiliknya udah tidur sehabis pulang kerja, mungkin pemiliknya lagi kedatangan kekasih tercinta kemudian mereka bercinta tanpa ditemani cahaya. Apartemen yang lampunya menyala pun belum tentu berpenghuni. Bisa saja pemiliknya lagi keluar kota tapi ninggalin apartemennya dengan keadaan seperti itu karena terburu-buru, bisa aja pemilik apartemen itu tinggal sendiri dan takut sama gelap, bisa aja pemiliknya kesepian dan ngerasa cahaya lampu bisa bikin dia ngurangin rasa sepinya.

Apartemen itu kayak kumpulan manusia di mana setiap kamarnya adalah seorang individu. Kita bisa ngeliat mereka tapi kita nggak tau dalemnya mereka gimana. - Isye Nur Isyroh

Apartemen itu udah keliatan kayak kota Jakarta, menurut saya. Pemiliknya bisa diasosiasikan dengan setiap individu yang berada di kota yang merupakan salah satu kota terpadat penduduknya di dunia ini. Apartemennya sendiri adalah gambaran dari kota Jakarta. 

Pemilik apartemen mungkin ngerasa kalo mereka punya rumah, padahal nggak. Yang mereka punya adalah sepetak lahan yang dibangun di tanah orang lain. Pemilik apartemen sesungguhnya adalah pemilik lantai dasar. Sisanya cuma numpang. Apartemen itu udah kayak rumah artifisial. Kita punya tempat untuk hidup, tapi kita nggak punya kehidupan. We have a house but we don't have a home. Saya belum bisa ngebayangin tinggal di apartemen, tapi saya pengen. Ketika saya udah bener-bener bisa berdiri di kaki sendiri, saya ingin tinggal di apartemen. Tentunya sebelum saya berkeluarga.

Saya nggak ingin merasa nyaman tinggal di apartemen. I want my moment of solitude. Suatu hal yang saya pikir bisa saya dapatkan di sana. Tempat di mana nggak akan ada orang yang ngeganggu kehidupan saya, ngerecokin apa yang saya perbuat, nunggu saya pulang, atau cukup peduli akan siapa aja yang saya bawa masuk ke kamar apartemen saya.

I want to be fully independent.

Saya pikir Jakarta bukan tempat yang tepat untuk tumbuh dan berkembang, tapi tempat yang cocok untuk menempa diri. Jakarta cocok banget buat uji nyali dan mental, seberapa kuat kita menjalani hidup. 

Hubungan saya dengan kota Jakarta belum berjalan cukup baik. It's like love and hate relationship. Saya mencintai dan membenci Jakarta sekaligus. Saya mencintai Jakarta dengan segala kehidupannya. Kota ini begitu hidup, seperti selalu berdetak. Kita bisa menemukan keramaian di hampir setiap sudut kota Jakarta. Kita bisa menemukan banyak hal yang berbeda, namun justru hal itu yang menjadi karakter kota ini. You can find anything in here, from the ordinary until the uncanny. Saya menyenangi kota ini dengan segala kesibukannya. Karena itulah yang saya cari.

Saya membenci kota ini dengan segala kepalsuan dan kejahatannya. Kota ini begitu jahat, begitu kejam, kalau kita tergelincir sedikit saja, kita bisa terpuruk. Kota ini sangat palsu sehingga kita nggak bisa ngebedain mana yang baik mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar. Semuanya begitu abu-abu. Saya membenci kota ini dengan segala kekasarannya. Orang-orang di sini begitu kasar, begitu cuek. Saya nggak ngerti, apa itu karena hasil tempaan kota ini atau bagaimana.

Jendela apartemen seseorang tidak bisa menjadi cerminan kehidupan orang itu. Mereka yang lampu apartemennya menyala, bisa saja sedang bertengkar hebat dengan orang yang mereka kasihi. Dia yang mematikan lampu apartemennya mungkin sedang melakukan seks terhebat dalam hidupnya.

Maybe not all lights are good and all darkness are bad. People wear masks so others won't see their true face. Maybe people lies because they are afraid of the consequences of telling the truth. Bitter truth hurts, but is it really better than a sweet lie?

Maybe you want to think again and again before you confidently telling me the answer.

Thursday, 23 January 2014

Blue Jasmine (2013) Movie Review

File:Blue Jasmine poster.jpg

Blue Jasmine (2013) itu filmnya Cate Blanchett, dan saya tertarik nonton film ini karena Cate Blanchett dapet nominasi Best Actress di Oscar atas aktingnya di film ini. Film ini sutradara dan penulisnya Woody Allen. Turns out I enjoyed watching this movie so much, meskipun agak kesel sama endingnya. I think it's just how Allen ends hi movie, right? Kurang tahu sih soalnya I haven't watched his other movies. Tahunya cuman dari beberapa artikel di Internet.

Blue Jasmine nyeritain tentang Jasmine/Jeanette (Cate Blanchett), seorang sosialita New York yang jadi miskin karena suaminya ditangkep polisi atas kasus penipuan terus semua hartanya disita. Jasmine jadinya 'lari' ke rumah saudara perempuannya, Ginger (Sally Hawkins) di San Fransisco. Tujuannya sih she wants to get back on her own feet, jadi dia stay dulu.

Film ini alurnya maju-mundur. Jadi, setiap beberapa menit sekali kita bakalan disuguhin adegan-adegan waktu si Jasmine ini masih bahagia-bahagianya sama suaminya. Jasmine ini dulu kuliah antropologi, tapi drop out di tahun terakhirnya buat nikah sama Hal (Alec Baldwin). Alec ini kaya banget. Koleksinya aja mobil-mobil mewah. Tiap beberapa saat, Jasmine dimanjakan sama hadiah-hadiah mewah, diajak ke acara-acara prestisius, sehingga Jasmine sangat sangat terbiasa sama kehidupan orang kaya.

Sayangnya, Jasmine ini orangnya terlalu percayaan sama orang dan dia terlalu terbuai sama kehidupan mewahnya. Jasmine nggak pernah tau kalo suaminya suka main cewek. Sama sekali nggak tau as in very very naive. Jasmine bakalan tanda tangan ke semua berkas yang disodorin Hal without having second thought, only because she trusted him so much.

Sampe kemudian dia tau kalo suaminya selingkuh, dan ternyata Hal udah ngerencanain masa depan yang baru, dengan salah satu selingkuhannya. Jasmine yang (ternyata) udah ngalamin nervous breakdown, saking marahnya, nelpon FBI terus ngelaporin suaminya sendiri. Hal ditangkap, hartanya disita, mereka jatuh miskin.

Di film ini keliatan banget kalo Jasmine nggak mau pergi dari kehidupan mewahnya. Dateng ke kota kecil di San Fransisco, dia masih nenteng Birkin, koper Louis Vuitton, sepatu Manolo Blahnik (kalo nggak salah liat), dan perhiasan-perhiasan yang nunjukin status sosial dia. Terus, apa yang nunjukin kalo dia jatuh miskin?

Menurut saya hal itu ditunjukin dengan bagaimana dia terus-menerus memakai barang-barang yang dia punya. She always wear the Birkin, the Manolo, and some shirts. Orang yang kaya buanget nggak akan terlihat sering-sering memakai satu barang, kecuali dia suka banget. Jasmine would not have worn her Birkin everytime she go out had she had another one. She's broken but she did not want to admit it. That's why even though she desperately needed financial help, she would never sell her assets. She was in total denial.

Padahal kalo dia mau ngejual Birkin sama luggage Louis Vuittonnya, dia bisa loh megang duit beberapa ribu dolar (puluhan sampe ratusan juta rupiah, yes Birkin semahal itu) dan bisa start a new life by herself. Tapi, harga diri Jasmine terlalu tinggi buat ngelakuin itu. Dia bahkan nggak mau stay in New York because she was afraid of what her friends would think of her at the moment. Even though Jasmine had good sense in fashion, she would not want to imagine herself working in a fashion store and....serving her own friends. It's a humiliation for Jasmine.

Film ini ngegambarin banget gimana orang-orang yang sama sekali nggak mau harga dirinya terinjak-injak dan lebih memilih ngelakuin sesuatu yang lain. Aktingnya Cate Blanchett bagus banget di film ini, I will not be surprised if she gets the Oscar.

I hate the ending though because it is not a happy one. Hahahaha.

I really recommend this movie. Meskipun, film ini bukan film yang seru penuh aksi kayak Transformers, The Avengers, Hunger Games, you name it. Bukan pula film romantis macem The Notebook, A Walk to Remember, dan yang lainnya. Tingkat keseriusannya kayak nonton Forrest Gump, The Sixth Sense, gitu deh. Pokoknya yang serius-serius. Woody Allen berhasil pokoknya ngangkat keironisan hidup seorang sosialita.

Salute.

Hiatus

It has been a month since the last time I post anything in here. I was struggling with my undergraduate thesis, and now I only need to tidy it up. I only need to add the table of contents, list of tables and figures, bibliography, acknowledgements, and then it is done! 

I also find out that I think too much before I release a new blog post, which I shouldn't have. This is my blog, I got to write anything I want, without further unnecessary thoughts.

An idea just pops out on my mind. Literally right now! Got to write it before I forget about it. Bye.