Sunday, 26 January 2014

Jendela Apartemen

Saya sedang duduk di Central Park memandangi Apartemen Mediterania ketika satu hal memasuki pikiran saya,

"Apa yang orang-orang lakukan di dalam apartemen mereka?"

Nggak semua orang nyalain lampu apartemennya. Mungkin apartemen itu emang kosong nggak ada yang punya, mungkin pemiliknya masih ada di jalanan ibukota, mungkin pemiliknya udah tidur sehabis pulang kerja, mungkin pemiliknya lagi kedatangan kekasih tercinta kemudian mereka bercinta tanpa ditemani cahaya. Apartemen yang lampunya menyala pun belum tentu berpenghuni. Bisa saja pemiliknya lagi keluar kota tapi ninggalin apartemennya dengan keadaan seperti itu karena terburu-buru, bisa aja pemilik apartemen itu tinggal sendiri dan takut sama gelap, bisa aja pemiliknya kesepian dan ngerasa cahaya lampu bisa bikin dia ngurangin rasa sepinya.

Apartemen itu kayak kumpulan manusia di mana setiap kamarnya adalah seorang individu. Kita bisa ngeliat mereka tapi kita nggak tau dalemnya mereka gimana. - Isye Nur Isyroh

Apartemen itu udah keliatan kayak kota Jakarta, menurut saya. Pemiliknya bisa diasosiasikan dengan setiap individu yang berada di kota yang merupakan salah satu kota terpadat penduduknya di dunia ini. Apartemennya sendiri adalah gambaran dari kota Jakarta. 

Pemilik apartemen mungkin ngerasa kalo mereka punya rumah, padahal nggak. Yang mereka punya adalah sepetak lahan yang dibangun di tanah orang lain. Pemilik apartemen sesungguhnya adalah pemilik lantai dasar. Sisanya cuma numpang. Apartemen itu udah kayak rumah artifisial. Kita punya tempat untuk hidup, tapi kita nggak punya kehidupan. We have a house but we don't have a home. Saya belum bisa ngebayangin tinggal di apartemen, tapi saya pengen. Ketika saya udah bener-bener bisa berdiri di kaki sendiri, saya ingin tinggal di apartemen. Tentunya sebelum saya berkeluarga.

Saya nggak ingin merasa nyaman tinggal di apartemen. I want my moment of solitude. Suatu hal yang saya pikir bisa saya dapatkan di sana. Tempat di mana nggak akan ada orang yang ngeganggu kehidupan saya, ngerecokin apa yang saya perbuat, nunggu saya pulang, atau cukup peduli akan siapa aja yang saya bawa masuk ke kamar apartemen saya.

I want to be fully independent.

Saya pikir Jakarta bukan tempat yang tepat untuk tumbuh dan berkembang, tapi tempat yang cocok untuk menempa diri. Jakarta cocok banget buat uji nyali dan mental, seberapa kuat kita menjalani hidup. 

Hubungan saya dengan kota Jakarta belum berjalan cukup baik. It's like love and hate relationship. Saya mencintai dan membenci Jakarta sekaligus. Saya mencintai Jakarta dengan segala kehidupannya. Kota ini begitu hidup, seperti selalu berdetak. Kita bisa menemukan keramaian di hampir setiap sudut kota Jakarta. Kita bisa menemukan banyak hal yang berbeda, namun justru hal itu yang menjadi karakter kota ini. You can find anything in here, from the ordinary until the uncanny. Saya menyenangi kota ini dengan segala kesibukannya. Karena itulah yang saya cari.

Saya membenci kota ini dengan segala kepalsuan dan kejahatannya. Kota ini begitu jahat, begitu kejam, kalau kita tergelincir sedikit saja, kita bisa terpuruk. Kota ini sangat palsu sehingga kita nggak bisa ngebedain mana yang baik mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar. Semuanya begitu abu-abu. Saya membenci kota ini dengan segala kekasarannya. Orang-orang di sini begitu kasar, begitu cuek. Saya nggak ngerti, apa itu karena hasil tempaan kota ini atau bagaimana.

Jendela apartemen seseorang tidak bisa menjadi cerminan kehidupan orang itu. Mereka yang lampu apartemennya menyala, bisa saja sedang bertengkar hebat dengan orang yang mereka kasihi. Dia yang mematikan lampu apartemennya mungkin sedang melakukan seks terhebat dalam hidupnya.

Maybe not all lights are good and all darkness are bad. People wear masks so others won't see their true face. Maybe people lies because they are afraid of the consequences of telling the truth. Bitter truth hurts, but is it really better than a sweet lie?

Maybe you want to think again and again before you confidently telling me the answer.

2 comments:

  1. I think I prefer a bitter truth. Well, even though it is a bitter one, does not mean it could not be asserted in a well manner. Perhaps, a bitter truth that is implied in a pleasant way could have less hurting effect. Yes, I think I'll stick with truth. Nothing good comes from lying. It will only tempt us to lie more, it is just like an easy bail out card that could easily takes place on us as a repertoire.

    ReplyDelete
  2. Why focusing on lie or truth when we can focus on sweet?

    ReplyDelete