Friday, 7 February 2014

TUKANG SOL SEPATU KELILING

Gambar diambil dari www.flexmedia.co.id.

Kira-kira pertengahan Januari 2014 kemarin, saya main ke Bandung. Sebenernya bukan main sih, tapi ngungsi dari Jakarta karena kebanjiran. Waktu itu saya bingung mau ke Bandung atau Cikarang atau Cirebon (karena saat itu masih pagi dan saya ngantuk banget). Saya kemudian ngambil keputusan mendadak –mendadak karena keputusannya diambil sembari saya ada di atas Bus TransJakarta, untuk pergi ke Bandung.

Sebenernya inti ceritanya bukan itu.

Jadi di suatu siang, saya pergi beli makan (dari kosan saya ke mamang ketoprak jaraknya nggak sampai 50 meter). Ketika saya balik lagi ke kosan temen saya, ternyata kosannya dikunci, dan di depan kamar kosan temen saya itu ada seorang bapak tukang sol sepatu yang lagi ngebenerin sepasang sandal (yang kelihatannya punya temen saya). Karena saya nggak punya kunci duplikat, dan kunci duplikat yang saya cari (di tempat persembunyian yang biasa) nggak ada, saya akhirnya duduk di sofa depan kosan temen saya sambil ngeliatin bapak tukang sol sepatu ini.

Selanjutnya mari kita namai bapak tukang sol sepatu ini sebagai Pak Madun. Kenapa Madun? Yagitudeh.

Pak Madun menjahit sandal temen saya dengan terampil, menggunting benang, membuat simpul, menusuk sandal di sana-sini, menyambung jalinan asmara yang tadinya putus, dan berbagai hal umum yang biasa dilakukan seorang tukang sol sepatu. Alat pertukangan yang dibawa Pak Madun nggak banyak. Ia hanya membawa dua buah kotak yang isinya sol sepatu bekas, karet ban dalam mobil, benang (yang digunakan untuk ngejahit sepatu), dan beberapa lainnya yang saya nggak tau nama dan kegunaannya.

Pak Madun ini orangnya udah tua, mungkin umurnya sekitar 60an tahun. Kulitnya keling dengan urat yang kelihatan di mana-mana, terutama di bagian lengan. Setelah selesai dengan sandal sebelah kanan, beliau ngelanjutin ngejahit yang sebelah kiri. Bagian yang tadinya putus dan terpisah dirapatkan lagi sebelum dijahit. Saya yakin sandal yang dijahit Pak Madun telah menjadi lebih kuat.

Saya hanya memerhatikan Pak Madun selama kurang lebih lima belas menit sebelum teman saya datang. Namun ternyata apa yang saya pelajari lebih lama masanya dari hal itu.

Pertama, saya masih ingat kejadian itu padahal sudah lewat hampir sebulan. Pak Madun cukup memberikan kesan kepada saya. Yah, gimana ya. Zaman sekarang kayaknya udah jarang banget orang-orang pake jasa tukang sol sepatu, apalagi di kota-kota besar. Saya jadi kepikiran berapa yang bisa didapat sama Pak Madun setiap harinya dengan jadi tukang sol sepatu.

Kedua, sekali lagi (dan untuk kesekian kalinya), kita harus bersyukur sama apa yang udah kita punya. Kalau kamu bisa baca tulisan saya ini, kamu harus bersyukur karena bisa mengenal teknologi, punya koneksi ke internet, kemudian baca tulisan saya. Saya juga harus bersyukur karena bisa punya sarana untuk menuangkan ide-ide di kepala. Saya yakin, jika kita bisa terhubung ke internet, berarti kita punya ‘uang lebih’. Kalo saya Pak Madun, mana mungkin saya mikirin nulis di blog kalo isi perut saya aja nggak terjamin hari ini?

Saya yakin ini hal yang klise dan udah banyak yang bercerita. Bagaimana kita harus bersyukur atas apa yang kita punya. Bagaimana masih banyak orang yang lebih menderita dari kita. Bagaimana kita harus membantu sesame, dan banyak hal lainnya. Satu hal yang saya yakini, hal-hal klise itu akan terasa lebih special apabila terjadi di sekitar kita. Seperti saya yang bertemu Pak Madun.

Semalam Bapak telpon, mendengarkan curhatan (keluhan, lebih tepatnya) saya tentang kekhawatiran saya akan masa depan. Bapak bilang kayak gini.

“Kamu harus bersyukur karena kamu masih muda. Masih banyak kesempatan yang bisa kamu ambil. Jangan seperti Bapak. Bapak sudah umur segini, sudah nggak punya banyak kesempatan. Dulu Bapak pengen kuliah, tapi kondisinya nggak memungkinkan. Kamu harus bersyukur karena dikasi kesempatan yang nggak Bapak dapetin.”

P.S. Itu bukan foto Pak Madun. Saya hanya browsing di Google dan mencari foto yang paling mengingatkan saya pada Pak Madun.

No comments:

Post a Comment