Gambar diambil dari |
Kira-kira
pertengahan Januari 2014 kemarin, saya main ke Bandung. Sebenernya bukan main
sih, tapi ngungsi dari Jakarta karena kebanjiran. Waktu itu saya bingung mau ke
Bandung atau Cikarang atau Cirebon (karena saat itu masih pagi dan saya ngantuk
banget). Saya kemudian ngambil keputusan mendadak –mendadak karena keputusannya
diambil sembari saya ada di atas Bus TransJakarta, untuk pergi ke Bandung.
Sebenernya inti ceritanya bukan
itu.
Jadi di suatu siang, saya pergi
beli makan (dari kosan saya ke mamang ketoprak jaraknya nggak sampai 50 meter).
Ketika saya balik lagi ke kosan temen saya, ternyata kosannya dikunci, dan di
depan kamar kosan temen saya itu ada seorang bapak tukang sol sepatu yang lagi
ngebenerin sepasang sandal (yang kelihatannya punya temen saya). Karena saya
nggak punya kunci duplikat, dan kunci duplikat yang saya cari (di tempat
persembunyian yang biasa) nggak ada, saya akhirnya duduk di sofa depan kosan
temen saya sambil ngeliatin bapak tukang sol sepatu ini.
Selanjutnya mari kita namai bapak tukang sol sepatu ini sebagai Pak
Madun. Kenapa Madun? Yagitudeh.
Pak Madun menjahit sandal temen
saya dengan terampil, menggunting benang, membuat simpul, menusuk sandal di
sana-sini, menyambung jalinan asmara yang tadinya putus, dan berbagai hal umum
yang biasa dilakukan seorang tukang sol sepatu. Alat pertukangan yang dibawa
Pak Madun nggak banyak. Ia hanya membawa dua buah kotak yang isinya sol sepatu
bekas, karet ban dalam mobil, benang (yang digunakan untuk ngejahit sepatu),
dan beberapa lainnya yang saya nggak tau nama dan kegunaannya.
Pak Madun ini orangnya udah tua,
mungkin umurnya sekitar 60an tahun. Kulitnya keling dengan urat yang kelihatan
di mana-mana, terutama di bagian lengan. Setelah selesai dengan sandal sebelah
kanan, beliau ngelanjutin ngejahit yang sebelah kiri. Bagian yang tadinya putus
dan terpisah dirapatkan lagi sebelum dijahit. Saya yakin sandal yang dijahit Pak
Madun telah menjadi lebih kuat.
Saya hanya memerhatikan Pak
Madun selama kurang lebih lima belas menit sebelum teman saya datang. Namun
ternyata apa yang saya pelajari lebih lama masanya dari hal itu.
Pertama, saya masih ingat
kejadian itu padahal sudah lewat hampir sebulan. Pak Madun cukup memberikan kesan
kepada saya. Yah, gimana ya. Zaman sekarang kayaknya udah jarang banget
orang-orang pake jasa tukang sol sepatu, apalagi di kota-kota besar. Saya jadi
kepikiran berapa yang bisa didapat sama Pak Madun setiap harinya dengan jadi
tukang sol sepatu.
Kedua, sekali lagi (dan untuk
kesekian kalinya), kita harus bersyukur sama apa yang udah kita punya. Kalau
kamu bisa baca tulisan saya ini, kamu harus bersyukur karena bisa mengenal
teknologi, punya koneksi ke internet, kemudian baca tulisan saya. Saya juga
harus bersyukur karena bisa punya sarana untuk menuangkan ide-ide di kepala. Saya
yakin, jika kita bisa terhubung ke internet, berarti kita punya ‘uang lebih’.
Kalo saya Pak Madun, mana mungkin saya mikirin nulis di blog kalo isi perut
saya aja nggak terjamin hari ini?
Saya yakin ini hal yang klise
dan udah banyak yang bercerita. Bagaimana kita harus bersyukur atas apa yang
kita punya. Bagaimana masih banyak orang yang lebih menderita dari kita.
Bagaimana kita harus membantu sesame, dan banyak hal lainnya. Satu hal yang
saya yakini, hal-hal klise itu akan terasa lebih special apabila terjadi di
sekitar kita. Seperti saya yang bertemu Pak Madun.
Semalam Bapak telpon,
mendengarkan curhatan (keluhan, lebih tepatnya) saya tentang kekhawatiran saya
akan masa depan. Bapak bilang kayak gini.
“Kamu harus bersyukur karena kamu masih muda. Masih banyak kesempatan
yang bisa kamu ambil. Jangan seperti Bapak. Bapak sudah umur segini, sudah
nggak punya banyak kesempatan. Dulu Bapak pengen kuliah, tapi kondisinya nggak
memungkinkan. Kamu harus bersyukur karena dikasi kesempatan yang nggak Bapak
dapetin.”
P.S. Itu bukan foto Pak Madun. Saya hanya browsing di Google dan mencari foto yang paling mengingatkan saya pada Pak Madun.
No comments:
Post a Comment