Thursday, 17 April 2014

Partisipasi Politik?




Karya Wiji Thukul, salah satu aktivis reformasi yang masih hilang

Ya, kita memang punya pendapat masing-masing tentang bagaimana mahasiswa harus memberi kontribusi untuk negaranya. Ada yang berpendapat lebih baik kita berprestasi di luar negeri, mengikuti beragam kompetisi internasional dan membawa nama Indonesia. Meskipun nggak menang, paling tidak kita punya partisipasi di dalamnya dan menunjukkan keeksisan negeri ini. Jika menang ya akan membuat bangga.

Ada pula yang berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kunci. Partisipasi politik di sini bisa berupa demonstrasi mahasiswa, mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, berorganisasi, dan lain-lain. Beberapa berpendapat bahwa demonstrasi itu tak ada gunanya, kurang cerdas, dan selalu anarkis dan vandalis. Saya sendiri kurang setuju dengan adanya demonstrasi, sebab di zaman ini kita punya banyak media yang mampu menarik perhatian para penguasa dan awak media massa. Saya pikir cara itu akan lebih efektif dalam penyampaian pendapat.

Ya, seperti saya mbikin tulisan ini, sih.

Beberapa hari ini Indonesia sedang ramai-ramainya. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang mengguncang. Mulai dari kasus sodomi anak TK internasional, keluh kesah seorang cewek di KRL, penolakan kedatangan salah satu universitas negeri di Indonesia terhadap satu capres, hingga kisruh dunia Twitter yang menampilkan seorang selebtweet yang menunjukkan dukungannya terhadap capres yang lain, yang kemudian dicerca oleh selebtweet lainnya.

Kumpulan berita-berita itu entah kenapa membawa saya ke halaman-halaman Wikipedia, portal berita, hingga blog orang, ngebacain satu-satu artikel-artikel berkaitan tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Mulai dari Pembantaian PKI 1965-1966, Tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, Penculikan Aktivis HAM di era Orde Baru, sampai kematian Munir dan Aksi Kamisan yang ternyata masih berlangsung sampai hari ini. Kalau ingin tahu kejadian-kejadian itu, monggo dicari via Google :)

Perasaan saya ketika baca tulisan-tulisan itu: Takut. Serem. Bersyukur karena saya nggak tinggal di zaman itu. Bersyukur karena saya nggak ngerasain dan terlibat langsung di situ. Karena saya takut. Nyali saya tidak sebesar itu untuk menginisiasi pemberontakan terhadap pemerintah yang berkuasa. Saya membayangkan kejadiannya, saya mencari foto-fotonya melalui Google Images, dan ternyata mengerikan. Orang-orang mati terkapar di jalanan, polisi dan mahasiswa saling melempar batu dan entah apalagi, hingga ada peluru nyasar ke kepala anak kecil :(

Tapi tanpa mereka mungkin kita nggak bisa ngerasain reformasi, nggak ngerasain kebebasan berpendapat, nggak ngerasain kebebasan buat nulis dan komentar apa aja tentang segala sesuatu yang menarik perhatian kita. Kalo zaman dulu kan, kalau kita ketahuan ngatain pemerintah dan menurut pemerintah kita mengancam, ya udah siap-siap aja.......entahlah. Ngilang?

Sekarang, saya yang tinggal di Grogol dan kalau ngantor ke Pancoran, tentu tiap hari lewat Semanggi. Lewat Halte Grogol, lewat depan Universitas Trisakti, lewat Gedung DPR/MPR,  lewat halte Semanggi. Dan saya tahu di mana letak Universitas Atmajaya. 

Ketika Tragedi Semanggi I, II, dan Trisakti terjadi, saya masih kecil, masih umur 6/7 tahun, jadi belum ngerti banyak. Sekarang saya bisa ngebayangin letak-letak kejadiannya. Saya memang nggak bisa bayangin gimana chaos-nya, tapi saya tahu, saya akan ngerasa sangat ketakutan kalau ada di sana.

Saat ini, ketika kita udah hidup cukup enak (paling nggak lebih enak dari zaman Orba maupun ketika tahun-tahun pembersihan PKI), kita mau apa? 

Saya juga belum bisa jawab pertanyaan itu, jika saya tujukan kepada diri saya sendiri.

Bertahun-tahun lalu, mahasiswa Indonesia resah sama rezim Soeharto. Resah dengan dibungkamnya hak berpendapat secara bebas. Mereka lelah terhadap semua itu kemudian memutuskan memberontak. Kita nggak mau kan masa-masa itu kembali lagi?

Kalau kita perhatian sedikit sama politik, kita akan tahu beberapa (sebagian besar, malah) calon pemimpin kita malah punya masalah sama korupsi maupun pelanggaran HAM. Mantan Jenderal yang terlibat langsung dalam kasus Penculikan Aktivis, orang kaya yang punya masalah besar di salah satu perusahaannya, pemilik media yang nggak bisa misahin aktivitas politik sama jurnalisme, dan lain-lain. Mau punya pemimpin kayak begitu?

Pemilu legislatif kemarin saya nggak berpartisipasi, tapi saya berharap bisa ikut nyoblos di pemilu presiden. Sampai sekarang, saya belum tahu siapa yang akan saya pilih, tapi saya yakin atas siapa yang nggak akan saya pilih. Saya takut. Saya takut kejadian yang dulu akan terulang lagi dan saya akan mengalaminya. Hidup di rezimnya.

Emang sih, nggak ada gunanya kita terus-terusan nengok ke masa lalu, tapi apa yakin kita mau melupakan pelanggaran HAM yang menggemparkan seluruh negeri, teringat hingga kini, dan belum jelas kapan akan selesai?

Saat ini saya mungkin belum bisa banyak beraksi, tapi saya bisa mulai peduli.

Sunday, 13 April 2014

Satu Mimpi Sebagai Penghalang Yang Lainnya

Jadi ceritanya kemarin saya nemenin roommate kosan saya, Neo, nyari kebaya buat wisudaan nanti. Alhamdulillah kebaya + pernak-perniknya dapet. On our way to the mall where we bought the kebaya, in the taxi, the radio played one of Nidji's finest song, "Laskar Pelangi". My mind suddenly went far away from the backseat of the car.....

I suddenly remembered about my very huge dream of having my Master's Degree in New Zealand.
I suddenly remembered about my passion to become a writer of a fashion magazine or TV reporter.
I suddenly remembered about my goal to live in Europe and experience a very classic lifestyle; hang out with my husband to a cafe in Italian street and writing.
I suddenly remembered about my dream to be a career woman with my fat salary and awesome way of living.
I suddenly remembered about my dream to live in a small city with my lovely husband and children (maybe Yogyakarta, Semarang, Malang, or even Madiun).
I suddenly remembered about my dream of working at majalah Bobo, simply because it is my favorite.

Then I realized that I have a bunch of dreams that are clashing with the other.

Oke. Maaf ya karena bahasa yang saya pakai untuk nulis di sini suka nyampur-nyampur. 

Kemudian saya jadi entah semangat entah malah patah arang. Bagitu banyak mimpi yang ingin saya gapai, tapi saya nggak bisa memilih semuanya sekaligus. I also want to be a lecturer in a university, but I have to finish my Master's Degree first. Either way, saya harus jadi praktisi supaya mumpuni untuk mengajar. Akan lebih baik jika saya bisa mengajar di universitas yang bagus dan di kota yang tidak terlalu metropolis. Solo, misalnya. Semarang. Yogyakarta. Cirebon. Saya lelah dengan hingar-bingar ibukota (will make a separate blog post about this topic). Saya ingin menjadi wanita karir dengan gaji besar namun saya ingin tinggal di kota kecil. Agak susah, ya?

Kalau inget lagi sama lagunya Nidji yang Laskar Pelangi itu saya rasanya ingin langsung berlari. Pengen langsung turun dari taksi terus ngelamar di semua perusahaan majalah favorit saya. Lalu harap-harap cemas berharap saya diterima di salah satunya.

Selama ini saya berpikir terlalu kompleks sebelum mengingat bahwa sebenarnya mimpi saya begitu sederhana. See, I can describe each of my dream into a sentence. My problem is that I have so many clashing dreams I want to pursue.

Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya

 Kadang saya pikir saya takut menghadapi dunia kerja ketika saya ingin lanjut S2. Tapi ketika saya memutuskan untuk mengejarnya, saya ingin punya pengalaman kerja. Ruwet.

Sampai akhirnya saya menyadari bahwa sebenarnya saya hanya butuh menjawab satu pertanyaan.

Apa yang saya cari?