Karya Wiji Thukul, salah satu aktivis reformasi yang masih hilang |
Ya, kita memang punya pendapat masing-masing tentang bagaimana mahasiswa harus memberi kontribusi untuk negaranya. Ada yang berpendapat lebih baik kita berprestasi di luar negeri, mengikuti beragam kompetisi internasional dan membawa nama Indonesia. Meskipun nggak menang, paling tidak kita punya partisipasi di dalamnya dan menunjukkan keeksisan negeri ini. Jika menang ya akan membuat bangga.
Ada pula yang berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kunci. Partisipasi politik di sini bisa berupa demonstrasi mahasiswa, mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, berorganisasi, dan lain-lain. Beberapa berpendapat bahwa demonstrasi itu tak ada gunanya, kurang cerdas, dan selalu anarkis dan vandalis. Saya sendiri kurang setuju dengan adanya demonstrasi, sebab di zaman ini kita punya banyak media yang mampu menarik perhatian para penguasa dan awak media massa. Saya pikir cara itu akan lebih efektif dalam penyampaian pendapat.
Ya, seperti saya mbikin tulisan ini, sih.
Beberapa hari ini Indonesia sedang ramai-ramainya. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang mengguncang. Mulai dari kasus sodomi anak TK internasional, keluh kesah seorang cewek di KRL, penolakan kedatangan salah satu universitas negeri di Indonesia terhadap satu capres, hingga kisruh dunia Twitter yang menampilkan seorang selebtweet yang menunjukkan dukungannya terhadap capres yang lain, yang kemudian dicerca oleh selebtweet lainnya.
Kumpulan berita-berita itu entah kenapa membawa saya ke halaman-halaman Wikipedia, portal berita, hingga blog orang, ngebacain satu-satu artikel-artikel berkaitan tentang pelanggaran HAM di Indonesia. Mulai dari Pembantaian PKI 1965-1966, Tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, Penculikan Aktivis HAM di era Orde Baru, sampai kematian Munir dan Aksi Kamisan yang ternyata masih berlangsung sampai hari ini. Kalau ingin tahu kejadian-kejadian itu, monggo dicari via Google :)
Perasaan saya ketika baca tulisan-tulisan itu: Takut. Serem. Bersyukur karena saya nggak tinggal di zaman itu. Bersyukur karena saya nggak ngerasain dan terlibat langsung di situ. Karena saya takut. Nyali saya tidak sebesar itu untuk menginisiasi pemberontakan terhadap pemerintah yang berkuasa. Saya membayangkan kejadiannya, saya mencari foto-fotonya melalui Google Images, dan ternyata mengerikan. Orang-orang mati terkapar di jalanan, polisi dan mahasiswa saling melempar batu dan entah apalagi, hingga ada peluru nyasar ke kepala anak kecil :(
Tapi tanpa mereka mungkin kita nggak bisa ngerasain reformasi, nggak ngerasain kebebasan berpendapat, nggak ngerasain kebebasan buat nulis dan komentar apa aja tentang segala sesuatu yang menarik perhatian kita. Kalo zaman dulu kan, kalau kita ketahuan ngatain pemerintah dan menurut pemerintah kita mengancam, ya udah siap-siap aja.......entahlah. Ngilang?
Sekarang, saya yang tinggal di Grogol dan kalau ngantor ke Pancoran, tentu tiap hari lewat Semanggi. Lewat Halte Grogol, lewat depan Universitas Trisakti, lewat Gedung DPR/MPR, lewat halte Semanggi. Dan saya tahu di mana letak Universitas Atmajaya.
Ketika Tragedi Semanggi I, II, dan Trisakti terjadi, saya masih kecil, masih umur 6/7 tahun, jadi belum ngerti banyak. Sekarang saya bisa ngebayangin letak-letak kejadiannya. Saya memang nggak bisa bayangin gimana chaos-nya, tapi saya tahu, saya akan ngerasa sangat ketakutan kalau ada di sana.
Saat ini, ketika kita udah hidup cukup enak (paling nggak lebih enak dari zaman Orba maupun ketika tahun-tahun pembersihan PKI), kita mau apa?
Saya juga belum bisa jawab pertanyaan itu, jika saya tujukan kepada diri saya sendiri.
Bertahun-tahun lalu, mahasiswa Indonesia resah sama rezim Soeharto. Resah dengan dibungkamnya hak berpendapat secara bebas. Mereka lelah terhadap semua itu kemudian memutuskan memberontak. Kita nggak mau kan masa-masa itu kembali lagi?
Kalau kita perhatian sedikit sama politik, kita akan tahu beberapa (sebagian besar, malah) calon pemimpin kita malah punya masalah sama korupsi maupun pelanggaran HAM. Mantan Jenderal yang terlibat langsung dalam kasus Penculikan Aktivis, orang kaya yang punya masalah besar di salah satu perusahaannya, pemilik media yang nggak bisa misahin aktivitas politik sama jurnalisme, dan lain-lain. Mau punya pemimpin kayak begitu?
Pemilu legislatif kemarin saya nggak berpartisipasi, tapi saya berharap bisa ikut nyoblos di pemilu presiden. Sampai sekarang, saya belum tahu siapa yang akan saya pilih, tapi saya yakin atas siapa yang nggak akan saya pilih. Saya takut. Saya takut kejadian yang dulu akan terulang lagi dan saya akan mengalaminya. Hidup di rezimnya.
Emang sih, nggak ada gunanya kita terus-terusan nengok ke masa lalu, tapi apa yakin kita mau melupakan pelanggaran HAM yang menggemparkan seluruh negeri, teringat hingga kini, dan belum jelas kapan akan selesai?
Saat ini saya mungkin belum bisa banyak beraksi, tapi saya bisa mulai peduli.
No comments:
Post a Comment