Monday, 25 September 2017

Jakarta and All of Its Complexities

Jakarta selalu punya cerita. What I like the most from this city is that everything is always happening. Banyak inspirasi bisa didapat, ide-ide bisa dikembangkan, bahkan kepenatan bisa jadi karya.

My highlight of the day adalah Bapak-Bapak kurir, kurir apapun itu. Pengantar katering, pengemudi transportasi online (GoJek, Grab, Uber, dan lain-lain). Kantor saya terletak di lantai 30 sebuah gedung di Jakarta, jadi harus naik lift kalau ingin mencapainya. Di dalam lift, saya ketemu dengan Bapak-Bapak yang membawa plastik berisikan entah susu almond, atau racikan smoothies untuk makan siang seseorang. Di lantai 20-an, beliau turun dari lift. Tiba-tiba saya teringat Bapak saya sendiri. How if that guy were my father? Nggak, saya bukannya mau mendiskreditkan si Bapak Kurir. Hanya saja, saya menyadari bahwa tidak semua orang ingin menjadi kurir katering. Mungkin tidak semua orang bangga akan profesinya sebagai seorang kurir makanan seseorang.

Saya belajar banyak bersyukur dengan tinggal di Jakarta. Saya bisa makan apa yang saya mau, bisa beli apa yang saya mau, saya bisa melakukan apa yang saya inginkan. Ketika bertemu dengan Bapak Kurir, hati saya terenyuh.

Ketika berumur segitu, bagaimana posisi saya di kantor? Di manakah saya bekerja? Bagaimana dengan istri dan anak dari Bapak Kurir? Apakah mereka bisa makan kenyang setiap hari?

-          Intermezzo: I still have that bad habit of not be able to finish most of my meal. I always try to ask for a half portion wherever I eat, but sometimes I just cannot handle it. My appetite changes based on my mood.

Berani-beraninya saya nggak menghabiskan makanan, ketika Bapak Kurir berjuang mencari nafkah sebegitu susahnya. Berani-beraninya saya mengeluh soal pekerjaan, ketika memiliki pekerjaan sudah menjadi priviledge tersendiri untuk saya? Bagaimana perasaan Bapak Kurir ketika dia mengantarkan makanan seharga di atas 50 ribu rupiah, ketika uang itu bisa dipakai makan sehari tiga kali oleh seluruh anggota keluarganya?

Beberapa hari lalu, saya dan teman-teman saya makan di sebuah cafe yang terletak di dalam salah satu mall di Jakarta. Rada zonk sih, karena kami inginnya makan yang terjangkau. Ternyata, harga makanan paling murah di sana adalah cream soup, yang harganya 50 ribu rupiah. Alamak, kenyang tidak, mahal pula.

Berenam, kami menghabiskan uang sekitar 700 ribu rupiah, dan tidak semuanya makan berat. Kami berenam sanggup membayarnya, tapi masalahnya bukan itu. The problem is that we were okay to pay such amount only for one-time meal. Pada zaman kuliah, uang 700 ribu rupiah bisa menghidupi saya untuk 2-3 minggu. Bapak Kurir might think young adults like us were spoiled brats, even though we paid the meals by ourselves, from our own pocket money.

When I looked at Bapak Kurir’s expression inside the lift, I feel pity. I started wondering if Bapak Kurir actually had to give up on his dreams only to survive in Jakarta. We all remember how Jakarta is considered as the city where your dreams come true? Well, no one can guarantee. We all also know that Jakarta is the city where many dreams are shattered. Broken into pieces.

For me, Jakarta is always inspirational. It’s always moving, so dynamic that sometimes we have no time to think and decide. We only take actions. Because that’s the easiest thing to do and adapt to the situation.

Sometimes Jakarta is so cruel, more cruel than other cities. Jakarta is the most digital city in Indonesia, that we only show our sympathies through internet. Just like what I do today.

I might do nothing to help Bapak Kurir. All I do is write what’s on my mind, and share it to my blog, hoping many people would read it and think the same way. That we are spoiled, and we haven’t been grateful enough. We waste many things: money, time, energy, love, passion.


To survive.

Sunday, 30 July 2017

I Am 25 Years Old and This Is How I (Currently) Think About Marriage

I turn 25 years old this year (it's 2017). Buat ukuran perempuan Indonesia, umur-umur segini emang udah rawan banget ditanyain, "Kapan nikah?" atau "Kapan nyusul?". Nggak terhitung sih udah berapa ribu orang yang nanya ke saya hal itu. Jawaban saya pun bisa macam-macam:

"Besok lah, kalau nggak hujan."
"Nanti hari Sabtu."
"Nunggu ada yang ngelamar."
"Santai lah, masih pengen sendiri."
"Wah, mau ngebiayain ya?"
"Gak usah nanya-nanya deh kalo nggak bakalan nyumbang."
"Doain ya secepatnya."
"Bentar, nunggu bisa resign tanpa bayar penalti."
Dan berbagai macam jawaban lainnya, yang manapun yang terpikir duluan.

Manusia emang banyak macemnya sih, dengan berbagai karakteristik. Ada yang rasa ingin tahunya melebihi tinggi Empire State Building, otaknya lebih miring dari Menara Miring Pisa, dan lebih absurd dari Stonehenge. Nggak kenal deket, tapi nanyain hal-hal pribadi. Kalau emang kenal deket sih ngejawabnya enak ya, bisa santai. Sayangnya, lebih banyak yang cuma basa-basi-busuk padahal sebenarnya nggak peduli. Saya pun nggak ngerti motif di balik pertanyaannya apa.

Selain karena masih senang melajang, ada beberapa faktor lain sih yang membuat saya belum menikah hingga tahun ini. Kemudian tentu saja muncul berbagai macam komentar:

"Yakin Suv gak mau nikah cepet-cepet? Mau nunggu sampai kapan? Umur kamu makin nambah lho, yakin pacar kamu yang sekarang bakalan masih mau sama kamu? Mending dia nyari yang lebih muda, lebih cantik. Pasti banyak yang mau deh."

Sakit hati sih dibilangin gitu. I feel underestimated. Who the hell they think they are? Tapi ya bagaimana lagi, namanya juga mulut orang, komentarnya nggak bisa ditahan. Saya hanya bisa tersenyum dan menjawab seadanya.

Meskipun belum menikah, tapi saya paham betul bahwa menikah itu butuh persiapan matang. Nggak bisa hanya didasarkan atas suka-sama-suka, keinginan untuk punya hubungan "halal" ataupun karena ingin hidup bersama. I know marriage means more than that, and I know that my boyfriend and me still need to take care of many things before we really decide to jump into marriage.

Halah klise banget sih lo ngomongnya, Suv. 

Judge me as you like. It's not like I care a bit about it.

Tapi segalanya bisa berubah kok kalau orang tua sudah bertitah. Hehehe.

Salah satu yang menjadi pertimbangan saya dalam pernikahan adalah: will I stop working and be a full-time housewife? Pacar saya memang nggak pernah memaksakan kehendaknya, bahwa saya harus bekerja atau harus jadi ibu rumah tangga secara penuh. Ia akan selalu mendukung segala keputusan dan keinginan saya (at least sampai saat ini sih begitu). Tapi, tentu saja saya akan memikirkannya lebih lanjut, lagi dan lagi.

Sebagai perempuan yang bercita-cita ingin hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang lain, saya tentu ingin tetap bekerja meskipun sudah menikah. Saya paham, dalam agama yang saya yakini, laki-laki bertanggung jawab menafkahi saya lahir dan batin. Tetapi, saya sudah diajari menjadi mandiri oleh kedua orang tua saya sejak kecil, sekarang pun saya sudah punya penghasilan sendiri. Rasanya, saya akan merasa aneh ketika nantinya harus "minta" uang lagi ke suami. Besides, women needs to buy many things, right? Bags, shoes, clothes, make up, and many more~ Kalau nanti suami mau membiayai sih alhamdulillah yaaah, puji Tuhan~

Di sisi lain, jelas saya inginnya di rumah saja. Ngurus rumah, ngurus anak, berbakti pada suami jiwa dan raga (ahelah). Apalagi kalau jadi menikah dengan pacar yang sekarang, hidup kami akan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain keliling Indonesia. It will be really hard for me to look for a steady-full time job. Palingan yaaa freelance. Belum lagi nanti kalau punya anak. Harus pindah sekolah, daftar ulang di sana-sini, berpisah dengan teman-teman lama dan berteman dengan orang-orang baru. We still have so many things to prepare. Belum lagi beli rumah dan kendaraan....
We have not planned until that far.

For now, the farthest we can prepare is the wedding money.
Mohon doanya ya, semuanya.

The last but not least, terima kasih karena telah menyempatkan waktu untuk membaca tulisan ini.
Have a nice day!

Monday, 24 July 2017

Cerita Tentang Berkerudung

Saya berumur 25 di tahun 2017 ini. Saya beragama Islam seumur hidup saya, dan telah memutuskan untuk berkerudung sejak tahun 2008. Berarti, sudah 9 tahun saya berkerudung.

Pengalaman berkerudung saya bisa dibilang cukup mudah. Hampir tidak ada yang menjelek-jelekkan saya (paling tidak, secara langsung ke hadapan wajah saya), or simply because I choose to be indifferent of all negative comments. Either way, I am at ease.

Yang orang-orang tahu tapi kebanyakan memilih tidak peduli, adalah fakta bahwa berkerudung itu sebenarnya tidak mudah. Berkerudung bisa saja hanya perihal cara berpakaian, tapi filosofi berkerudung yang diusung seseorang menjadi begitu berat, apalagi jika kita tinggal di Indonesia, di mana banyak orang gemar berkomentar tentang kehidupan pribadi orang lain.

Berikut adalah beberapa komentar/pertanyaan yang PASTI kita jumpai/rasakan:

  1. Kamu Islam kan? Kenapa nggak pake kerudung? Bukannya Islam memerintahkan untuk menutup aurat?
  2. Yakin kamu mau berkerudung? Jangan main copot-pasang lho ya.
  3. Lah bukannya si Anu itu berkerudung ya? Kemarin gue liat dia di mall pake hotpants loh!
  4. Yaelah si Anu mah kerudungan cuma di sekolah/kantor doang. Sekalian aja lepas kerudungnya ketimbang setengah-setengah gitu.
  5. Kok kerudungnya ga syar'i sih? Kenapa masih suka pake skinny jeans? Kalo masih pake pakaian yang seksi-seksi mah ga usah kerudungan dulu.
  6. Si Anu tuh ya, kerudungan cuma buat kedok doang kayaknya. Clubbing mah jalan terus!
  7. Dan seterusnya.
Salah satu teman sekelas saya pernah bertanya ke guru PAI, "Pak, gimana dengan perempuan yang pake kerudungnya cuma pas ke sekolah aja, tapi pas main masih copot kerudung?"
Guru saya menjawab dengan santai, "Loh! Nggak apa-apa! Itu bagus kok! Paling tidak, dia sudah berusaha menyempatkan waktunya beberapa jam untuk menutup auratnya. Seharusnya orang seperti itu jangan kita cibir dong, tapi kita semangati dan kita doakan supaya berkerudung ke manapun dia pergi."

Jawaban itu memang sederhana, tapi saya suka dengan jawaban Pak Guru. Membuat kita yang belum berkerudung jadi termotivasi. Percayalah, lebih banyak muslimah yang memutuskan berkerudung karena disemangati seperti itu ketimbang disuruh. We know that it's our obligation, but it's never an easy step to decide wearing veil. Never.

Ada yang berpendapat bahwa memakai kerudung tidak berkaitan dengan akhlak. You may wear veil and be a bitch. Saya pun masih ada di antara setuju dan tidak, atas pernyataan barusan. Setelah 9 tahun berkerudung, saya sadar masih banyak yang perlu saya perbaiki. Masih suka ngomongin orang? Masih. Masih suka mengeluh? Masih. Masih suka suudzon? Masih. Masih belum cukup sedekahnya? Belum. Tapi, saya kan nggak harus melepas kerudung saya karena masih melakukan hal-hal itu. Kalo berkerudung harus nunggu suci dulu mah, tidak akan ada perempuan berkerudung di muka bumi ini. Kalau memang saya, atau muslimah lain melakukan kesalahan, tolong ingatkan, jangan mencibir.

"Malu kali sama jilbab. Mending lo lepas aja deh."

Saya justru merasa sedih dengan yang berkomentar seperti ini. Bukannya mendukung, kenapa ia justru memprovokasi untuk melepas kerudungnya?

Memutuskan untuk berkerudung itu tidak mudah. Setelah memutuskan untuk berkerudung, kita dihadapkan oleh banyak masalah, misalnya diskriminasi, ekspektasi yang lebih tinggi, maupun batasan atas pilihan-pilihan.

Ketika bersekolah di Bali, sekolah-sekolah negeri memang melarang siswanya untuk mengenakan atribut keagamaan, namun hal ini berlaku untuk seluruh agama dan kepercayaan. Siswa Hindu dilarang mengenakan udeng ke sekolah (hanya gelang upacara yang diperbolehkan), siswa Islam dilarang mengenakan kerudung maupun peci/kopiah, siswa Kristen/Katolik dilarang mengenakan kalung salib, siswa Buddha dilarang mengenakan atribut keagamaan (mohon maaf, saya kurang tahu atribut agama Buddha?). Tapi, setahu saya di sekolah tidak ada siswa yang mengeluh ataupun ribut tentang peraturan sekolah. Kami berpikir, jika memang ingin berkerudung, masih banyak sekolah bagus yang bisa mengakomodasi. Pilihan kami memang terbatas, tapi bukan tidak ada, and we embrace it. Lagipula, tidak ada larangan berkerudung di tempat umum. Bebas, kok.

Batasan untuk memilih pekerjaan? Are you serious? Kadang saya heran dengan orang-orang yang mengeluh tidak diterima bekerja di perusahaan X, karena perusahaan tersebut melarang pegawainya untuk berkerudung. Di lain kesempatan, orang yang sama juga percaya bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah SWT. Yaudah sih!

Saya kayaknya selow menghadapi masalah seperti ini. Kalau memang percaya bahwa rezeki itu sudah diatur Allah SWT, ya sudah, terima saja kenyataan bahwa perusahaan itu memang tidak menerima perempuan berkerudung. Masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan larangan berkerudung, dan kita tetap punya kesempatan untuk berprestasi. Shine your glow, and your achievement will follow. 

Selow banget, ya?

Anyway, kayaknya tulisan ini udah melenceng ke mana-mana deh, nggak sesuai sama tujuan awalnya (emang tujuannya apa, Suv?), so I will end here. Please let me know your thought about it in anyway possible. Mau lewat komen di sini, chat secara pribadi, mention di Twitter, apapun. 

Satu lagi, terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca tulisan ini ya. See you in my next thought!






Disclaimer: Tulisan ini berisi opini pribadi saya, pemahaman saya, dan bagaimana saya menginterpretasikannya. Apabila ada yang salah maupun perlu diperbaiki, silakan tuangkan dalam kolom komentar. Anda boleh tidak setuju dengan tulisan ini. Pendapat kita boleh berbeda, namun apabila saya memiliki kesalahan, mohon dibenarkan. Terima kasih telah berkunjung!

Tuesday, 21 February 2017

Unfinished Writing

You have been away from pen and paper for too long, you cannot finish a single piece of writing.
You have been so tired of the world, you cannot even elaborate what you feel into words.
You have been so disappointed, you decide to left it unsaid so you won't have to remember it again.
You have been so angry, you decided to shut the fuck up because you know saying it will not worth it.

Life is so funny, God is so powerful. Every time you think you've done, every time you think you've had enough, God always stretch your limit.

Whenever you think, "I could not be having worse time than this.", God proves you wrong.

I've experienced it right now, to the extent that I think I can no longer hold it. I've had ENOUGH. It's beyond my tolerance, yet I have no other choice than trying to get through it, and wait for every day to pass by. I don't even care about my ambitions. I don't even care about achievement. I just think I've had ENOUGH.

I have loved writing for years; since I was in elementary school. However, I have not write a single blog post since... when.... 2015?

THAT IS PATHETIC.

I write a lot, yet I never finished them. I think a lot, yet I am afraid to throw away my ideas because that's not how my current life works. It's now filled with obeying my bosses, and being in the line, not having a decent chance to improvise or being creative. I'm becoming dull.

I know every individual living in this world must have experienced what I have today. I know that every one must have had their hard times. Yesterday, I chatted with one of my bestfriends and she said very beautifully, "It'd be unfair if we expect people to fully understand us. People go through different difficulties. I've had mine, you've had yours. I'd never experience yours, neither would you. It's a paradox, about who suffer more. You cannot measure suffer."

I know this is not a beautiful piece of writing, but I decided to write anyway.
Sometimes, ugly thing is better because it is done.
Or would you rather have a beautiful but unfinished one?