Sunday, 30 July 2017

I Am 25 Years Old and This Is How I (Currently) Think About Marriage

I turn 25 years old this year (it's 2017). Buat ukuran perempuan Indonesia, umur-umur segini emang udah rawan banget ditanyain, "Kapan nikah?" atau "Kapan nyusul?". Nggak terhitung sih udah berapa ribu orang yang nanya ke saya hal itu. Jawaban saya pun bisa macam-macam:

"Besok lah, kalau nggak hujan."
"Nanti hari Sabtu."
"Nunggu ada yang ngelamar."
"Santai lah, masih pengen sendiri."
"Wah, mau ngebiayain ya?"
"Gak usah nanya-nanya deh kalo nggak bakalan nyumbang."
"Doain ya secepatnya."
"Bentar, nunggu bisa resign tanpa bayar penalti."
Dan berbagai macam jawaban lainnya, yang manapun yang terpikir duluan.

Manusia emang banyak macemnya sih, dengan berbagai karakteristik. Ada yang rasa ingin tahunya melebihi tinggi Empire State Building, otaknya lebih miring dari Menara Miring Pisa, dan lebih absurd dari Stonehenge. Nggak kenal deket, tapi nanyain hal-hal pribadi. Kalau emang kenal deket sih ngejawabnya enak ya, bisa santai. Sayangnya, lebih banyak yang cuma basa-basi-busuk padahal sebenarnya nggak peduli. Saya pun nggak ngerti motif di balik pertanyaannya apa.

Selain karena masih senang melajang, ada beberapa faktor lain sih yang membuat saya belum menikah hingga tahun ini. Kemudian tentu saja muncul berbagai macam komentar:

"Yakin Suv gak mau nikah cepet-cepet? Mau nunggu sampai kapan? Umur kamu makin nambah lho, yakin pacar kamu yang sekarang bakalan masih mau sama kamu? Mending dia nyari yang lebih muda, lebih cantik. Pasti banyak yang mau deh."

Sakit hati sih dibilangin gitu. I feel underestimated. Who the hell they think they are? Tapi ya bagaimana lagi, namanya juga mulut orang, komentarnya nggak bisa ditahan. Saya hanya bisa tersenyum dan menjawab seadanya.

Meskipun belum menikah, tapi saya paham betul bahwa menikah itu butuh persiapan matang. Nggak bisa hanya didasarkan atas suka-sama-suka, keinginan untuk punya hubungan "halal" ataupun karena ingin hidup bersama. I know marriage means more than that, and I know that my boyfriend and me still need to take care of many things before we really decide to jump into marriage.

Halah klise banget sih lo ngomongnya, Suv. 

Judge me as you like. It's not like I care a bit about it.

Tapi segalanya bisa berubah kok kalau orang tua sudah bertitah. Hehehe.

Salah satu yang menjadi pertimbangan saya dalam pernikahan adalah: will I stop working and be a full-time housewife? Pacar saya memang nggak pernah memaksakan kehendaknya, bahwa saya harus bekerja atau harus jadi ibu rumah tangga secara penuh. Ia akan selalu mendukung segala keputusan dan keinginan saya (at least sampai saat ini sih begitu). Tapi, tentu saja saya akan memikirkannya lebih lanjut, lagi dan lagi.

Sebagai perempuan yang bercita-cita ingin hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang lain, saya tentu ingin tetap bekerja meskipun sudah menikah. Saya paham, dalam agama yang saya yakini, laki-laki bertanggung jawab menafkahi saya lahir dan batin. Tetapi, saya sudah diajari menjadi mandiri oleh kedua orang tua saya sejak kecil, sekarang pun saya sudah punya penghasilan sendiri. Rasanya, saya akan merasa aneh ketika nantinya harus "minta" uang lagi ke suami. Besides, women needs to buy many things, right? Bags, shoes, clothes, make up, and many more~ Kalau nanti suami mau membiayai sih alhamdulillah yaaah, puji Tuhan~

Di sisi lain, jelas saya inginnya di rumah saja. Ngurus rumah, ngurus anak, berbakti pada suami jiwa dan raga (ahelah). Apalagi kalau jadi menikah dengan pacar yang sekarang, hidup kami akan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain keliling Indonesia. It will be really hard for me to look for a steady-full time job. Palingan yaaa freelance. Belum lagi nanti kalau punya anak. Harus pindah sekolah, daftar ulang di sana-sini, berpisah dengan teman-teman lama dan berteman dengan orang-orang baru. We still have so many things to prepare. Belum lagi beli rumah dan kendaraan....
We have not planned until that far.

For now, the farthest we can prepare is the wedding money.
Mohon doanya ya, semuanya.

The last but not least, terima kasih karena telah menyempatkan waktu untuk membaca tulisan ini.
Have a nice day!

Monday, 24 July 2017

Cerita Tentang Berkerudung

Saya berumur 25 di tahun 2017 ini. Saya beragama Islam seumur hidup saya, dan telah memutuskan untuk berkerudung sejak tahun 2008. Berarti, sudah 9 tahun saya berkerudung.

Pengalaman berkerudung saya bisa dibilang cukup mudah. Hampir tidak ada yang menjelek-jelekkan saya (paling tidak, secara langsung ke hadapan wajah saya), or simply because I choose to be indifferent of all negative comments. Either way, I am at ease.

Yang orang-orang tahu tapi kebanyakan memilih tidak peduli, adalah fakta bahwa berkerudung itu sebenarnya tidak mudah. Berkerudung bisa saja hanya perihal cara berpakaian, tapi filosofi berkerudung yang diusung seseorang menjadi begitu berat, apalagi jika kita tinggal di Indonesia, di mana banyak orang gemar berkomentar tentang kehidupan pribadi orang lain.

Berikut adalah beberapa komentar/pertanyaan yang PASTI kita jumpai/rasakan:

  1. Kamu Islam kan? Kenapa nggak pake kerudung? Bukannya Islam memerintahkan untuk menutup aurat?
  2. Yakin kamu mau berkerudung? Jangan main copot-pasang lho ya.
  3. Lah bukannya si Anu itu berkerudung ya? Kemarin gue liat dia di mall pake hotpants loh!
  4. Yaelah si Anu mah kerudungan cuma di sekolah/kantor doang. Sekalian aja lepas kerudungnya ketimbang setengah-setengah gitu.
  5. Kok kerudungnya ga syar'i sih? Kenapa masih suka pake skinny jeans? Kalo masih pake pakaian yang seksi-seksi mah ga usah kerudungan dulu.
  6. Si Anu tuh ya, kerudungan cuma buat kedok doang kayaknya. Clubbing mah jalan terus!
  7. Dan seterusnya.
Salah satu teman sekelas saya pernah bertanya ke guru PAI, "Pak, gimana dengan perempuan yang pake kerudungnya cuma pas ke sekolah aja, tapi pas main masih copot kerudung?"
Guru saya menjawab dengan santai, "Loh! Nggak apa-apa! Itu bagus kok! Paling tidak, dia sudah berusaha menyempatkan waktunya beberapa jam untuk menutup auratnya. Seharusnya orang seperti itu jangan kita cibir dong, tapi kita semangati dan kita doakan supaya berkerudung ke manapun dia pergi."

Jawaban itu memang sederhana, tapi saya suka dengan jawaban Pak Guru. Membuat kita yang belum berkerudung jadi termotivasi. Percayalah, lebih banyak muslimah yang memutuskan berkerudung karena disemangati seperti itu ketimbang disuruh. We know that it's our obligation, but it's never an easy step to decide wearing veil. Never.

Ada yang berpendapat bahwa memakai kerudung tidak berkaitan dengan akhlak. You may wear veil and be a bitch. Saya pun masih ada di antara setuju dan tidak, atas pernyataan barusan. Setelah 9 tahun berkerudung, saya sadar masih banyak yang perlu saya perbaiki. Masih suka ngomongin orang? Masih. Masih suka mengeluh? Masih. Masih suka suudzon? Masih. Masih belum cukup sedekahnya? Belum. Tapi, saya kan nggak harus melepas kerudung saya karena masih melakukan hal-hal itu. Kalo berkerudung harus nunggu suci dulu mah, tidak akan ada perempuan berkerudung di muka bumi ini. Kalau memang saya, atau muslimah lain melakukan kesalahan, tolong ingatkan, jangan mencibir.

"Malu kali sama jilbab. Mending lo lepas aja deh."

Saya justru merasa sedih dengan yang berkomentar seperti ini. Bukannya mendukung, kenapa ia justru memprovokasi untuk melepas kerudungnya?

Memutuskan untuk berkerudung itu tidak mudah. Setelah memutuskan untuk berkerudung, kita dihadapkan oleh banyak masalah, misalnya diskriminasi, ekspektasi yang lebih tinggi, maupun batasan atas pilihan-pilihan.

Ketika bersekolah di Bali, sekolah-sekolah negeri memang melarang siswanya untuk mengenakan atribut keagamaan, namun hal ini berlaku untuk seluruh agama dan kepercayaan. Siswa Hindu dilarang mengenakan udeng ke sekolah (hanya gelang upacara yang diperbolehkan), siswa Islam dilarang mengenakan kerudung maupun peci/kopiah, siswa Kristen/Katolik dilarang mengenakan kalung salib, siswa Buddha dilarang mengenakan atribut keagamaan (mohon maaf, saya kurang tahu atribut agama Buddha?). Tapi, setahu saya di sekolah tidak ada siswa yang mengeluh ataupun ribut tentang peraturan sekolah. Kami berpikir, jika memang ingin berkerudung, masih banyak sekolah bagus yang bisa mengakomodasi. Pilihan kami memang terbatas, tapi bukan tidak ada, and we embrace it. Lagipula, tidak ada larangan berkerudung di tempat umum. Bebas, kok.

Batasan untuk memilih pekerjaan? Are you serious? Kadang saya heran dengan orang-orang yang mengeluh tidak diterima bekerja di perusahaan X, karena perusahaan tersebut melarang pegawainya untuk berkerudung. Di lain kesempatan, orang yang sama juga percaya bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah SWT. Yaudah sih!

Saya kayaknya selow menghadapi masalah seperti ini. Kalau memang percaya bahwa rezeki itu sudah diatur Allah SWT, ya sudah, terima saja kenyataan bahwa perusahaan itu memang tidak menerima perempuan berkerudung. Masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan larangan berkerudung, dan kita tetap punya kesempatan untuk berprestasi. Shine your glow, and your achievement will follow. 

Selow banget, ya?

Anyway, kayaknya tulisan ini udah melenceng ke mana-mana deh, nggak sesuai sama tujuan awalnya (emang tujuannya apa, Suv?), so I will end here. Please let me know your thought about it in anyway possible. Mau lewat komen di sini, chat secara pribadi, mention di Twitter, apapun. 

Satu lagi, terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca tulisan ini ya. See you in my next thought!






Disclaimer: Tulisan ini berisi opini pribadi saya, pemahaman saya, dan bagaimana saya menginterpretasikannya. Apabila ada yang salah maupun perlu diperbaiki, silakan tuangkan dalam kolom komentar. Anda boleh tidak setuju dengan tulisan ini. Pendapat kita boleh berbeda, namun apabila saya memiliki kesalahan, mohon dibenarkan. Terima kasih telah berkunjung!