Jakarta selalu punya cerita. What I like the most from this city is that
everything is always happening. Banyak inspirasi bisa didapat, ide-ide bisa
dikembangkan, bahkan kepenatan bisa jadi karya.
My highlight of the day adalah Bapak-Bapak kurir, kurir apapun itu.
Pengantar katering, pengemudi transportasi online (GoJek, Grab, Uber, dan
lain-lain). Kantor saya terletak di lantai 30 sebuah gedung di Jakarta, jadi
harus naik lift kalau ingin mencapainya. Di dalam lift, saya ketemu dengan
Bapak-Bapak yang membawa plastik berisikan entah susu almond, atau racikan smoothies untuk makan siang seseorang.
Di lantai 20-an, beliau turun dari lift. Tiba-tiba saya teringat Bapak saya
sendiri. How if that guy were my father? Nggak,
saya bukannya mau mendiskreditkan si Bapak Kurir. Hanya saja, saya menyadari
bahwa tidak semua orang ingin menjadi kurir katering. Mungkin tidak semua orang
bangga akan profesinya sebagai seorang kurir makanan seseorang.
Saya belajar banyak bersyukur
dengan tinggal di Jakarta. Saya bisa makan apa yang saya mau, bisa beli apa
yang saya mau, saya bisa melakukan apa yang saya inginkan. Ketika bertemu
dengan Bapak Kurir, hati saya terenyuh.
Ketika berumur segitu, bagaimana
posisi saya di kantor? Di manakah saya bekerja? Bagaimana dengan istri dan anak
dari Bapak Kurir? Apakah mereka bisa makan kenyang setiap hari?
-
Intermezzo:
I still have that bad habit of not be able to finish most of my meal. I always
try to ask for a half portion wherever I eat, but sometimes I just cannot
handle it. My appetite changes based on my mood.
Berani-beraninya saya nggak
menghabiskan makanan, ketika Bapak Kurir berjuang mencari nafkah sebegitu
susahnya. Berani-beraninya saya mengeluh soal pekerjaan, ketika memiliki
pekerjaan sudah menjadi priviledge tersendiri
untuk saya? Bagaimana perasaan Bapak Kurir ketika dia mengantarkan makanan
seharga di atas 50 ribu rupiah, ketika uang itu bisa dipakai makan sehari tiga
kali oleh seluruh anggota keluarganya?
Beberapa hari lalu, saya dan
teman-teman saya makan di sebuah cafe yang terletak di dalam salah satu mall di
Jakarta. Rada zonk sih, karena kami
inginnya makan yang terjangkau. Ternyata, harga makanan paling murah di sana
adalah cream soup, yang harganya 50
ribu rupiah. Alamak, kenyang tidak, mahal pula.
Berenam, kami menghabiskan uang
sekitar 700 ribu rupiah, dan tidak semuanya makan berat. Kami berenam sanggup
membayarnya, tapi masalahnya bukan itu. The
problem is that we were okay to pay such amount only for one-time meal. Pada
zaman kuliah, uang 700 ribu rupiah bisa menghidupi saya untuk 2-3 minggu. Bapak Kurir might think young adults like us
were spoiled brats, even though we paid the meals by ourselves, from our own
pocket money.
When I looked at Bapak Kurir’s expression inside the lift, I feel pity.
I started wondering if Bapak Kurir actually had to give up on his dreams only
to survive in Jakarta. We all remember how Jakarta is considered as the city
where your dreams come true? Well, no one can guarantee. We all also know that
Jakarta is the city where many dreams are shattered. Broken into pieces.
For me, Jakarta is always inspirational. It’s always moving, so dynamic
that sometimes we have no time to think and decide. We only take actions. Because
that’s the easiest thing to do and adapt to the situation.
Sometimes Jakarta is so cruel, more cruel than other cities. Jakarta is
the most digital city in Indonesia, that we only show our sympathies through
internet. Just like what I do today.
I might do nothing to help Bapak Kurir. All I do is write what’s on my
mind, and share it to my blog, hoping many people would read it and think the
same way. That we are spoiled, and we haven’t been grateful enough. We waste many
things: money, time, energy, love, passion.
To survive.
No comments:
Post a Comment