Sunday, 23 September 2018

Crazy Rich Asians, A Food for Thought

Picture taken from IMDb

Sekitar akhir tahun 2017 kemarin, akhirnya saya tertarik membaca sebuah novel yang berjudul Crazy Rich Asians. Sebenarnya novel ini sudah terbit sejak tahun 2013, dan cukup menimbulkan kontroversi. Crazy Rich Asians menggambarkan kehidupan (dan gaya hidup) orang-orang super kaya Singapura, yang dikenal dengan istilah HNWI (High Net-Worth Individuals). Menurut novel yang dibuat oleh Kevin Kwan ini, saking kaya dan prestisiusnya, HNWI justru nggak terekspos di Forbes maupun daftar orang terkaya versi manapun. Kalaupun iya, nilai kekayaan yang tercantum biasanya nggak sesuai dengan kekayaan mereka sesungguhnya.

Kadang saya ngerasa beruntung karena nggak perlu lama-lama nunggu sebuah novel diadaptasi ke film. Baca novelnya di akhir 2017, eh Crazy Rich Asians dibuat film dong! Rilis di bulan Agustus, saya harus nunggu sekitar sebulan untuk filmnya tayang di bioskop di Indonesia. Huft, kalo kaya mah pasti udah terbang (atau diundang) di premiere filmnya, ya. Sewa bioskop khusus untuk nonton bersama keluarga, kerabat, dan teman, sambil ngundang cast and crew sekalian. Kalo mau hambur-hambur duit jangan setengah-setengah lah, ya.

Apa? Khayalan saya kurang tinggi? Bhaiiiqqq.

Nonton bersama temen kosan saya (Winda), yang kebetulan penggemar novel itu juga. Asyik sih, jadi kalo ngomentarin nyambung. Kita berdua juga penggemar berat salah satu karakternya, yaitu ASTRID LEONG. Sumpah deh ini perempuan goals banget. Yes, we're both aware that her existence is only an illusion. We don't even know if such persona exist in real life.

Crazy Rich Asians menceritakan kisah cinta Rachel Chu dan Nicholas Young, di mana Rachel ini adalah (((sobat misqin))) dan Nicholas Young (Nick) adalah orang super duper kaya tujuh turunan dan nggak mungkin miskin apapun yang terjadi (kecuali kiamat). Nick lumayan tertutup soal keluarganya, dan dia berencana ngajak Rachel ke Singapura untuk menghadiri pernikahan sohibnya, Colin dan Araminta.

Sisa ceritanya googling aja lah ya, banyak kok.

Apa yang saya suka dari film (dan novel) Crazy Rich Asians ini?

The Casts

Nggak kayak film Hollywood lainnya yang mengadaptasi kisah dari benua lain, film ini berani ngambil orang Asia untuk berperan. Ada sih, bule-bule barat, tapi cuma cameo dan kerjaannya cuma joget-joget di pinggir kolam renang. Sisanya? Full Asians! Ada yang protes sih, karena kelihatannya pemeran film ini diambil dari satu ras tertentu, dan hanya menggambarkan kehidupan kekayaan masyarakat Asia Timur. Ya, gimana ya, keluarga yang diceritakan oleh Kevin Kwan juga kan imigran Singapura yang berasal dari China. Mungkin emang dia pengen nyeritain itu dan taunya itu. Seingat saya, ada konglomerat Indonesia juga yang disebut (dan jadi figuran di film ini), tapi lupa ahahaha.


The Lifestyle

Sebagai sobat misqin Twitter, tentu sangat menarik bisa ngeliat dan tau gimana gaya hidup orang kaya. Meskipun kita nggak tahu rasanya, paling nggak bisa ngintip-ngintip dikit lah. Kehidupan jetset yang tergambar emang cukup bikin ngiler sih. Pelayan/pembantu di mana-mana, naik pesawat first class udah kayak naik Grab bayar pake OVO (maksudnya, murah banget gitu), soiree sesering mungkin, main mahjong, dateng ke klub-klub eksklusif, dan lain-lain.

The Characters

My most favorite character in this movie: definitely Astrid Leong! Perempuan yang memang udah tajir ini tetep ngebuktiin bahwa dia kuat, independen, dan nggak bergantung ke laki-laki. She keeps a low profile, "menurunkan" dirinya demi memenuhi ego suaminya, yang ujung-ujungnya tetep ngerasa terintimidasi. Whay I believe is... Guys, if a woman has loved you, she will love you sincerely, unconditionally, without caring about your state. Perempuan akan menyesuaikan kondisinya dengan suaminya/laki-laki yang ia cintai. Yang perlu dilakukan laki-laki adalah bersungguh-sungguh berusaha untuk kehidupan yang lebih baik. For two strong individuals, this is a war of ego, I think. That's why some people are separated eventually. Not because they stop loving each other, but because one (or even both) of them cannot compromise the ego any longer.

Eleanor Young juga oke banget. Dianggap sebagai "orang luar" oleh keluarga Young, Eleanor nggak akan pernah dianggap cukup pantas untuk Philip (Bapaknya si Nick, sayangnya di filmnya nggak ditampilin). Philip sendiri sebenernya nggak begitu peduli sama usaha keluarganya (?) dan lebih seneng memancing di Australia. Kalau di film, Philip dijelasin lagi ada bisnis di Shanghai kalo nggak salah.


Penggambaran Rachel Chu lebih baik dari yang saya bayangkan. Di novelnya, Rachel kelihatan lebih vulnerable. Adegan permainan mahjong bersama Eleanor emang oke banget sih. Di sini Rachel bisa menunjukkan kekuatannya dia, dan menunjukkan ke Eleanor dirinya yang sebenarnya. The reason why Nicholas Young gets heels over head with this woman. 

Scene Stealer

Namanya juga nonton film, pasti ada scene favorit. Buat saya, adegan favorit adalah PERNIKAHAN ARAMINTA dan COLIN. Mostly not because of the "Can't Help Falling in Love" song or the staring war betweet Rachel and Nick, but because of ARAMINTA'S WEDDING GOWN yang super duper kece banget Ya Allaaah emang luar biasa!!! Nggak ngerti lagi kenapa bisa begitu lucunyaa itu baju huhuhuhu.

Picture taken from IMDb

Overall, menurut saya, Crazy Rich Asians ini adalah film tentang perempuan. Soalnya, penggambarannya tuh lebih banyak dari sudut pandang Rachel, Eleanor, Astrid, Peik Lin, ketimbang dari sudut pandang laki-laki. Penggambaran perempuan yang bisa tetap kuat apapun yang terjadi padanya, bagaimana perempuan bisa mengendalikan rasa sakit yang ia rasakan, pengambilan keputusan, dan lain-lain. Jangan lupa dengan ibunya Rachel yang sanggup membesarkan anaknya seorang diri, di negara adidaya Amerika Serikat. Apapun yang dirasakan Rachel, ibunya merasakan jua. Sakit, senang, sedih, marah. Ibunya pun nggak pernah memaksakan kehendaknya ke Rachel. She understands very well that her daughter only needs time to heal. Rachel is a smart woman, she knows what to do. 

Dan... Jangan lupa quotes paling terkenal dari Astrid Leong.
"It was never my job to make you feel like a man. I can't make you something you're not."

Sunday, 19 August 2018

Pesan-Pesan Moral yang Bisa Diambil dari Film "Sebelum Iblis Menjemput"

Sebelum Iblis Menjemput (2018)
Foto Poster Diambil dari IMDb.com


Udah pengen nonton film ini sejak banyak yang mengelu-elukan film ini di jagad raya Twitter. Sebenarnya, saya pengecut untuk urusan film horor, tapi penasaran pengen nonton, dan saya menikmati rasa takut yang menghampiri ketika menonton. Haha. Saya bisa gelisah bener di kursi. Gerak sana-sini, nutupin mata pake jilbab (semacam saringan untuk mata, jadi adegan di layar nggak keliatan jelas), atau memicingkan mata supaya layarnya berbayang. Dengan begitu, saya bisa menghindari liat-liatan sama setannya, haha.
 
Sesuai dengan judulnya, saya akan memberitahu Anda sekalian, sebenarnya pesan moral apa sih yang bisa diambil dari film ini? Emang ada ya? Jadi, tulisan ini nggak akan banyak mengulas tentang filmnya, ya.
 
Overall, I would give this movie 8 out of 10. Filmnya nggak seseram Pengabdi Setan, tapi seru buanget. Penampakan setannya begitu paripurna, nggak tanggung-tanggung. Larinya kencang, cakaran dan gigitannya nyata. Seperti biasa, manusianya yang bego.
 
Pros:
  1. MUSIC SCORINGNYA JUARAA!!!!! Walaupun merem, tetep kerasa horornya. Jump scares-nya juga nggak setengah-setengah. Harus siaga 1 setiap saat.
  2. Saya suka sekali dengan aktingnya Pevita Pearce di sini. Meskipun ada juga tindakan-tindakan bego yang dia lakukan, tapi menurut saya aktingnya oke. Tatapan kosong dan kesurupannya juga meyakinkan (iya, Pevita kerasukan di sini).
  3. Gore. Banyak darah, bacok-bacok cantik dan mandjah, sampe membuat saya beberapa kali pengen muntah. 
  4. Suasananya beneran mencekam. Gelap-gelap gimana gitu. Cocok lah buat film horor. 
Cons:
  1. Bego. Udah tau terjebak di antah berantah, bukannya kabur pas siang hari, ini malah nunggu sampe malem baru kepikiran "Kita harus pergi dari sini!" YANG BENENG DOOORRR 
  2. Di beberapa bagian terlalu dramatis, lebay (kalo ga masuk akal mah udah sejak awal)
  3. Alur ceritanya kurang oke. Konfliknya kurang kompleks.
  4. Setannya keliatan make-up.
Itu aja deh reviewnya, sekarang kita langsung cus ke pesan moral ya. Maafin kalo prolognya panjang bener.

Kejarlah Harta Secara Halal, Yaitu dengan Bekerja
Segala hal yang dimulai dengan tidak baik, tak akan pernah berakhir baik. Kalau ingin kaya ya bekerja dengan giat dan cerdas. JANGAN PESUGIHAN! Jangan pernah membuat perjanjian dengan setan! Nanti yang kena imbasnya bukan hanya kamu, tapi orang-orang terdekatmu juga. Anakmu nggak bisa memilih orang tuanya seperti apa, tapi kamu punya pilihan untuk nggak menumbalkan anakmu ke iblis. Terutama iblis yang jelmaannya kambing dan perantaranya harus nelen rambut manusia untuk legalisasi kontraknya.

Telusuri Bibit-Bebet-Bobot dalam Memilih Pasangan
Ini juga penting banget. Ketika kamu memilih pasangan, pastikan pasangan kamu nggak punya orang tua yang tiba-tiba tajir banget, terus tiba-tiba bangkrut tanpa alasan yang masuk akal. Apalagi kalau istri pertama dari ayah pasanganmu meninggal dengan cara bunuh diri, dan hubungan keluarganya carut marut. Sorry if this seems judgmental, jadikan peringatan aja sih. Kamu nggak mau kan, tiba-tiba pacar kamu nelpon minta diselamatkan dari sebuah vila di tengah hutan, eh pas kamu nyampe di sana, malah ketemu sama kakaknya dan kamu dipukulin sampe mati dengan kepala berdarah-darah dan remuk?

Kesempatan Tidak Datang Lebih Dari Dua Kali
Ketika kamu terjebak di vila di tengah hutan, mobil rusak digigitin zombie kesurupan setan, jangan menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur di siang hari. Nggak usah banyak mikir, langsung cus aja kenapa sih! Harus banget nunggu malem, di saat setan lagi kuat-kuatnya, baru sadar, "Kita harus pergi dari sini!"? Percuma aja, yang ada kalian bakalan mati.

Selalu Siapkan Charger Ke Manapun Kamu Pergi
Kemalangan nggak ada yang tahu kapan datengnya, Beb. Kamu juga gak akan pernah tahu kapan akan terjebak nggak bisa keluar dari tengah hutan dan ancaman iblis yang menjalin kontrak dengan bapakmu. Ketika kamu ingin mencari pertolongan, telepon adalah salah satu cara paling mudah. Bawa charger ya! Jangan sampai ketika mau nelpon polisi, eh baterainya malah habis. Dengan begonya, kamu malah nelpon pacar kamu, bukannya nelpon 110 sebagai emergency call-nya. Terus kalo udah tau baterainya habis, segera isi daya baterai kamu, jangan malah maki-maki nggak jelas.

Eh ternyata sedikit ya tipsnya, hmmm. Yaudah deh, pokokmen film Sebelum Iblis Menjemput ini oke. Sebuah angin segar bagi dunia perfilman Indonesia. Nggak kayak beberapa tahun lalu yang menjual perempuan berpakaian seksi, cerita yang jauh dari masuk akal, setan yang nggak serem, dan adegan-adegan cringe-y lainnya. Yang belum kesampaian adalah nonton Kafir. Katanya bagus juga, tapi udah jarang banget ditayangin di bioskop.

Bulan ini lagi nunggu Venom, Aruna dan Lidahnya, sama Wiro Sableng. Semoga rezeki lancar biar bisa nonton semuanya!

See you later!
 

Sunday, 22 July 2018

Physical Insecurities: Mencintai Diri Sendiri

Beberapa hari lalu, saya membuat sebuah Instagram story tentang physical insecurity. Saya meyakini bahwa setiap orang pasti punya bagian tubuh yang dibenci, nggak peduli berjuta-juta orang telah bilang, "Kita semua sempurna. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kita harus mencintai kondisi tubuh kita, bagaimanapun Tuhan menciptakan kita."

The thing is, manusia yang terlahir dengan anggota tubuh lengkap pun merasa kurang. Apakah itu artinya kita adalah makhluk yang tidak tahu terima kasih kepada Tuhannya? Apakah itu berarti kita tidak berempati kepada saudara-saudara kita yang memiliki kekurangan? I don't think so. Hanya karena kita mengeluh, bukan berarti kita tidak berempati. Manusia itu hebat, kita bisa merasakan banyak hal dalam satu waktu. We can feel both sad and happy at the same time.

Di dalam Instagram story yang saya buat, saya bertanya kepada teman-teman saya:

What is your physical insecurity?

Jawabannya cukup membuat saya terkejut. Ternyata banyak juga hal-hal yang membuat kita tidak nyaman dengan diri sendiri. Beberapa di antaranya:

  • Gigi tonggos - padahal saya ngerasa orang ini cantik banget.
  • Semenjak jadi ibu menyusui, payudara jadi gede banget. Nggak pede pake kebaya.
  • Lengan kekar.
  • Bibir kecil, muka kecil, kepala kecil, rambut tipis - I think he's okay, though.
  • Tete kecil - never thought you would feel like this, Sis.
  • Ngerasa ganteng - kayaknya ini orang cuma iseng aja sih ikutan, haha.
  • Betis - nggak ada penjelasan betisnya kenapa, tapi saya rasa, "Betis gede"?
  • Bungkuk - another fine lady feeling insecure about herself.
  • Hidung terlalu mancung - saya rasa ini adalah sarkasme-nya dia sih, soalnya teman yang satu ini sering digodain pesek.
  • Rambut rontok - kayaknya laki-laki insecure dengan kerontokan ya?
  • Gendut - frequent answers. 
  • Mata panda, gigi spasi - another pretty girl.
  • Bibir tebel, nggak pede.
  • Pantat gede tapi kepala kecil, ngerasa nggak proporsional.
  • Muka lebar, paha gede.
  • Bokong gede.
  • Jerawat. 
Ternyata orang-orang di sekitar saya pun merasa banyak kekurangan. Mereka masih merasa bahwa kondisi fisik mereka tidak sempurna, dan patut untuk dikeluhkan.

You know what? I think that's really okay!

Selama ini kita dituntut untuk mencintai diri sendiri. Saya sendiri bagaimana? Saya cinta kok dengan diri saya. Makanya saya merawat diri. Mandi setiap hari (saya biasanya mandi satu kali sehari. Mohon maaf ya kalau menurutmu jorok, hahaha), pakai skincare, gosok gigi secara teratur, memakai deodoran, memakai lotion, berdandan, memakai baju yang bersih dan tidak berbau tidak enak, menyemprotkan parfum, menjaga pola makan, dan lain sebagainya.

Selama 26 tahun saya hidup di dunia, saya tidak pernah gemuk. Saya selalu kurus. Sebelum beranjak remaja, saya kesal kalau dipanggil kurus, kayak lidi, kayak belalang, kayak ini kayak itu. Rasanya sedih. Beranjak SMP, saya dipanggil tonggos. That's where I found another insecurity about myself. I got a set of teeth that looked like rabbit teeth or rat's teeth. I wasn't confident with myself. I wanted to get braces, but my family couldn't afford that. What should I do? I decided to embrace it and not make a fuss about it. They kept calling me tonggos but it did not hurt me anymore.

Masuk SMA, masih kurus.
Masuk kuliah, masih kurus.

Masa perkuliahan sama kerja kali ya, yang bikin saya galau banget sama bentuk tubuh dan berat badan. Banyak yang iri dengan berat badan saya. Sebanyak apapun makanan yang masuk ke tubuh saya, nggak akan menambah berat badan saya. It stays. 

"Enak ya, Suvi. Makannya banyak tapi badannya segitu-gitu aja."

Saking banyaknya yang bilang begitu, akhirnya saya menganggapnya sebagai pujian. Saya menganggapnya sebagai sebuah pencapaian. Tidak semua orang bisa seperti saya. Ternyata, insecurity saya bermula dari sini, Saudara-Saudara sekalian.

Suatu ketika, di bulan puasa, saya malas sekali mencari makanan baik untuk sahur maupun berbuka puasa. Saat itu saya masih berada di Cikarang, meskipun perkuliahan sudah libur. Saya memiliki beberapa kegiatan di kampus, and I stayed for those. Saya makan seadanya, dan menyadari bahwa saya kehilangan 6 kilogram dalam waktu 2 minggu saja! Pipi saya terlihat tirus dan entah kenapa saya merasa lebih cantik. WOW.

2 bulan setelahnya, saya mendapat sebuah project untuk menjadi panitia acara pertukaran pelajar yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya dan teman-teman lain yang terlibat diberikan fasilitas menginap di hotel selama kurang lebih 2 minggu, dan saya kalap ketika makan, karena memang enak sekali. Sepulangnya dari lokasi, berat badan saya naik kembali sebanyak 6 kilogram, dan PERUT SAYA BUNCIT! Ketimbang memikirkan kenaikan berat badan, saya lebih takut dengan buncitnya perut saya. Saya merasa begah setiap saat. Saya merasa perut saya bisa meledak sewaktu-waktu, dan saya merasa bentuk badan saya jadi aneh. Perut buncit... There's nothing good with it!

Karena tidak berolahraga secara rutin, saya pun menemukan kesulitan mengembalikan kondisi perut saya seperti sediakala. Butuh waktu berbulan-bulan hingga saya merasa perut saya rata kembali.

Memasuki masa-masa bekerja, kondisi kesehatan saya mulai memburuk.

Memburuk gimana sih, Suv?

 Perut jadi gampang buncit, cepet pusing, gampang lemes (seringnya sih ya karena memang jarang olahraga), dan lain-lain. Berat badan stabil, tapi justru saya menemukan insecurities lain dengan tubuh saya. Kenapa jika berat badan saya naik, badan saya membesar di bagian-bagian tertentu dan tidak merata? Paha, pipi, lengan, perut. Saya nggak punya masalah dengan kenaikan berat badan, asalkan proporsional. My current stable weight is 47-48 kilograms. I get scared once it hits 50-ish, especially when the increase only contributes to several parts of my body. It sucks.

Puncaknya adalah tahun 2017 bulan April, ketika saya terkena tipes. Saya nggak pernah sakit parah selama hidup, jadi pertama kalinya saya kena tipes, saya merasa sangat lemah. Setelahnya, saya berniat untuk memperbaiki pola makan. I usually eat whatever I want. I have the money to buy food, so why not? Setelahnya, saya mulai menjaga asupan makan. Saya nggak diet, saya juga nggak menghitung nutrisi yang masuk ke tubuh saya, tapi saya berusaha makan dengan seimbang setiap harinya. Sudahkah saya poop hari ini? Sudahkah saya makan sayur atau buah? Bagaimana dengan protein? Berapa gelas kopi yang masuk ke kerongkongan hingga sore ini? Berapa gelas air?

Something like that.

Beberapa bulan lalu, berat badan saya tiba-tiba mencapai 50 kilogram dan saya syok. Saya nggak mau berat badan saya kepala lima! Gimana kalau nggak bisa diturunin lagi??

Then I got my heart broken and it easily helped me lose weight. I lost about 3 kilograms in a week.

Dan saya memutuskan untuk membuatnya menjadi titik awal (lagi). Apa yang saya lakukan sekarang untuk menjaga pola makan dan berat badan saya:
  • I've stopped eating instant noodles since April 2017 (and discovered healthy instant noodle from Lemonilo just a couple days ago. It tastes amazing.)
  • Saya selalu sarapan makanan ringan, ditambah buah. Kalau buahnya nggak habis, saya bisa menjadikannya cemilan menjelang siang. Perut tetap kenyang, cemilannya sehat.
  • Saya menyeduh teh atau kopi di pagi hari, lumayan memenuhi asupan gula harian. Jika saya minum kopi jam 9 pagi, biasanya saya kebelet pup di jam 10.00-10.30 pagi. Lumayan kan, metabolisme saya?
  • Saya selalu punya stok cemilan di laci kantor (you can definitely ask my colleagues), tapi akhir-akhir ini saya membeli granola untuk cemilan. Makan granola cepet bikin bosan, jadi 1 bungkus granola (lupa merknya, tapi bisa di-zip kembali) biasanya baru habis setelah 1 minggu. Lumayan, bukan?
  • Saya masih BANGET makan micin kok, tapi ya jangan banyak-banyak dan jangan sering-sering.
  • ALWAYS SAY YES TO FREE FOOD! Ada pizza gratis di kantor? Martabak manis yang kejunya tumpah-tumpah? Ya dimakanlah! Ngapain juga diliatin doang?
  • Beli makan sebelum pulang ke kosan. Biasanya saya pulang selepas maghrib, jadi beli makan dulu, baru ke kosan. Kalau ke kosan dulu, nanti jam 8-9 laper, terus males keluar, terus jadi pesan-antar. Lebih mahal, belum tentu habis, kemudian besok pagi perutnya buncit karena makan kemaleman. Hahahaha.
  • Rutin berpuasa. Saya baru menjalankannya 2 minggu, so I still have a long way to go. Bagi saya, puasa tidak hanya membantu kita menahan hawa napsu, tapi juga cleansing pencernaan. Just remember the healthy purpose of Ramadan fasting, and apply it routine.
 Jadi, kalau ada yang nanya ke saya, "Suvi, diet? Ngapain diet sih kan udah kurus?", kadang saya iyakan, kadang saya sanggah. Jika saya diet agar tetap kurus, benar juga sih. Sekarang saya punya ketakutan untuk jadi gemuk, jadi saya mengatur pola makan. Lebih dari itu, saya ingin makan sehat agar di masa tua saya, saya nggak terkena komplikasi penyakit. Amiiin.

I think it's good to have insecurities as long as you take it as a motivation to be better. Try to embrace your weakness, and turn it to something great. I admit my physical insecurity when I was in college, I told everyone that I wasn't confident with my teeth, and instead, they told me it's not a big deal. I felt so relieved. No one talks bad about my teeth afterwards.

Everyone holds at least one physical insecurity, no matter how perfect they look like. We just don't know it. Let them be. They need support and good words, bukan kalimat-kalimat yang menjatuhkan, berkesan negatif, dan menurunkan rasa percaya diri mereka.

Ada yang bilang, satu cara mencari solusi atas sebuah masalah adalah dengan mengakui bahwa kita punya masalah terlebih dahulu. Dengan begitu, kita bisa fokus mencari jalan keluarnya.


Ngemeng apa sih, Suv?
Hahahaha.

Udah ah nulisnya, capek.

See you later!

Thursday, 12 July 2018

Hereditary (2018): How I Feel About This Movie?

Image Courtesy: IMDb.com





SPOILER ALERT!
So you might want to skip this post if you haven't seen the movie and don't want to get spoiled.
Either way, you can continue reading!

Postingan saya kali ini bukan mau review film yah, saya nggak mampu memberikan review secara profesional, jadi saya hanya akan menceritakan perasaan saya setelah menonton film yang satu ini. This movie leaves a quite big impression on me, so I need to write it.

Film ini sangat membekas, saya nggak bisa berhenti memikirkan/membicarakan film ini sejak saya menontonnya 2 hari lalu. Saya mencari-cari teman-teman yang sudah menonton dan membahasnya berkali-kali. Hahahaha.

Penasaran nonton karena Joko Anwar bilang filmnya bagus, and some say this movie is an upgraded version of  Pengabdi Setan. Jadi, saya penasaran. Pergilah saya menonton.

Agak menyesal juga sih nonton di bioskop. Saya merasa ketakutan. Ya Allah, filmnya serem banget! Mau pulang ajaaa! Merupakan pemikiran yang paling sering terlontar di dalam hati sepanjang 2 jam filmnya berlangsung. Untungnya saya bisa menikmati film ini, nggak seperti ketika menonton The Killing of  A Sacred Deer (bener-bener mual).

Saya, ketika menonton film horror, biasanya nggak memperhatikan nama-nama karakter. Taunya hanya "Emaknya", "Bapaknya", "Anak yang paling gede", semacam itu. Begitupun ketika menonton Hereditary. Hapalnya hanya status karakter di dalam keluarga tersebut (dan maksimal nama depannya).

Hereditary diawali dengan meninggalnya seorang nenek-nenek di satu keluarga. Ternyata, Nenek meninggalkan misteri untuk keluarga yang ia tinggalkan. Saya nggak pernah yakin atas kedekatan anggota keluarga Graham, soalnya terasa aneh. Annie (Si Emak) ini sedih nggak sih atas kematian ibunya? Yang kelihatan jelas-jelas sedih hanya si Charlie (Anak Yang Kecil). Ternyata Charlie emang favorit neneknya, paling disayang. Menurut saya, hubungan keluarga Graham ini memang agak renggang. They live together only because they're family. Kalau nggak, ya mungkin udah pada misah kali hidupnya? Soalnya, affection juga nggak diperlihatkan secara jelas di film ini.

Charlie ini udah terasa aneh banget sih karakternya. Suka menggambar, menyendiri, ngomongnya rada aneh. Masa, dia ngomong ke Emaknya begini, "Mak, siapa yang ngurus aku nanti kalau Emak mati?"

What the hell, Dude?

Secara tiba-tiba gitu loh. Hahahaha. Damn.

Terus keluarga Graham ini juga aneh banget, tinggal di pinggir hutan pinus (?) gitu, dan jauh dari mana-mana. Kalau mau pergi/pulang sekolah atau pergi ke tempat lain, mereka harus ngelewatin padang pasir semacam savana gitu, dan sepi banget. Siapa pula yang mau tinggal di tempat seperti itu? Ketika malam, serem banget rumahnyaaa! Oh ya, they also own one tree house.

Charlie has peanut allergy. Dijelaskan sewaktu Charlie ngegigit coklat di rumah duka, dan orang tuanya nanya apakah coklat yang dia makan ada kacangnya. Dijawab nggak oleh Charlie.

Kemudian, suatu hari, Charlie disuruh ikut kakaknya (namanya Peter) pergi ke pesta. Yang nyuruh Emaknya sih. Ikutlah yakan.

Terus Charlie ditinggal sama Peter buat ngeganja gitu. Charlie akhirnya makan kue coklat (yang mengandung hal yang bikin alerginya kambuh). Ngerasa sesak, Charlie minta pulang ke Peter. Si Peter, udah mah setengah ngefly, harus nyetir juga. Charlie ditidurin di jok penumpang belakang, udah nendang ke sana-sini karena nggak kuat dengan alerginya. Peter ngebut, soalnya ngejar waktu sampai ke rumah/rumah sakit. He drove for like 80-100 mph. Nyetir sekencang itu di jalanan yang sepi banget.

Charlie yang ngerasa sesak nggak tertahankan, memutuskan buat ngeluarin kepala (dan setengah badan) dari jendela mobil. Lah kok ya tiba-tiba ada anjing mati di tengah jalan, Peter harus banting setir ke tepi...... Terus tau-tau aja ada frame mukanya Charlie, terus ada tiang listrik gitu.

Terus ada bunyi GEDEBUK!

Tau lah ya apa yang terjadi kemudian.

Tapi entah kenapa nggak langsung diperlihatkan.

Cuma ada adegan Peter ngeliat cermin tengah mobil, terus dia nanya ke Charlie "...You okay?" Nggak ada jawaban. Peter lanjut aja gitu nyetir pulang ke rumah.

I knew something was wrong. Something had went terribly. But! I did not want to conclude anything before I saw what happened. Before they showed us what actually happened. So I opened my eyes very carefully.

Peter nyampe rumah, nggak ngebukain pintu buat Charlie, tapi langsung masuk aja ke rumahnya. Emak-Bapaknya bercakap-cakap semacam ,"Tuh mereka udah pulang". Tapi nggak berinisiasi untuk ngecek anaknya atau gimana. Peter masuk ke kamarnya, terus masuk ke dalam selimut.

INI PASTI ADA YANG SALAH!!!!! PASTI BANGET!!! PASTI CHARLIENYA MATI KAN? TAPI GIMANA MATINYA? KEPALANYA KEBENTUR TIANG SEKENCENG ITU, PASTI MATI KAN? TAPI MATINYA GIMANA?

Segala spekulasi dan tekanan jiwa merasuk raga. Yaelaaaah cepetan napa kasi liat gimana jadinyaa!

Adegan beralih close up ke wajahnya Peter dengan tatapannya yang udah kosong banget. Terus tiba-tiba ada teriakan miris banget dari Emaknya. Sedih banget lah pokoknya. Terus Emaknya teriak-teriak histeris nggak jelas gitu, bilang pengen mati aja, nggak mau hidup lagi. Kenapa anaknya kayak begitu....

NAH KAN BENER CHARLIENYA MATI KAN?? TAPI MATINYA GIMANA?

Terus tiba-tiba ada  scene kepalanya Charlie dikerubungin lalat. Di pinggir jalan. Di siang bolong. Kepalanya ternyata putus, Coy! Kepalanya nggak pernah bisa balik ke rumah! Charlie yang ada di dalam mobil itu.... Nggak ada kepalanya. Ya Allah ya Tuhanku huhu.

FAK. THE GRAPHIC WAS SO.... OH MY GOD. OH MY GOD. Saya nggak tau gimana caranya ngehilangin visual itu dari kepala saya sekarang.

Bisa ngebayangin nggak, jadi seorang kakak, nyetir buat adeknya karena alergi adeknya kambuh, terus malah nabrak tiang, terus kepalanya potel. Mau ngomong ke orang tua juga ga berani kali! Abis itu malah pergi ke kamar dan diam sampai pagi :((( Terus paginya denger tangisan Ibu yang sangat memilukan.

The tense. Oh God. I couldn't handle it well. It was so frustrating, but I had to keep watching. I wanted to know what happens, and how the movie would end.

Adegan itu terlalu berkesan untuk saya, jadi saya nggak begitu menghiraukan adegan-adegan setelahnya, sampai....

Annie neriakin Peter di meja makan. Aktingnya Toni Collette (yang jadi Si Emak) wow banget sih di sini. Saya nggak bisa ngebayangin rasanya kalau Ibu saya berteriak seperti itu, menyalahkan saya atas kecelakaan yang sudah terjadi. I might have committed suicide. Why should I live in a family that does not love me? Why should I hold on with a mother who resents me? Well, at least I'd runaway from home, for sure. Get a new life.

Ceritanya berlanjut tentang bagaimana keluarga Graham menjalani hidup mereka yang suram setelah kematian Charlie. Suram, nggak ada semangat hidup. Kayak ngejalanin hidup masing-masing, karena memang mereka semua terpukul, trauma atas apa yang udah terjadi. Emak dan Bapak sudah mengonsumsi obat penenang supaya bisa tidur. Peter.... Saya nggak bisa ngebayangin gimana dia bisa tidur setelahnya. Pasti kebayang-bayang terus seumur hidupnya. Dia nggak akan memaafkan dirinya sendiri.

Kemudian, Annie ketemu sama orang namanya Joan yang baiiiiiik banget, ga ketulungan. Udah sempet curiga sih, dan ternyata emang bener. Joan ini yang menjerumuskan Annie semakin dalam ke kegelapan. Diajarin cara manggil arwah, ceritanya untuk manggil arwahnya Charlie. Makin-makinlah si Annie keganggu pikirannya kan.

Dilakukanlah ritual pemanggilan arwah itu... dan berhasil. Annie jadi terobsesi, kemudian kebiasaan dia untuk tidur sambil berjalan kembali lagi (yang membahayakan Peter). Annie bahkan sempet bilang ke Peter, "I never wanted to be your mother." Sakit banget pasti rasanya. Peter beberapa kali hampir dibunuh sama Annie secara nggak sadar.

Endingnya absurd banget. Annie meriksa loteng untuk nyari tahu masa lalu emaknya, nemuin buku-buku sekte memuja sesuatu yang nggak jelas, pake pengorbanan segala. Terus... di loteng itu dia nemu mayat Si Nenek... tanpa kepala. Si Bapak menuduh Annie-lah yang sebenernya ngebongkar kuburan Si Nenek dengan sleep-walkingnya. Absurd banget kan.

Annie akhirnya bilang ke suaminya kalo dialah satu-satunya yang bisa mengakhiri ini. Ngebakar buku punya Charlie yang jadi medium pemanggilan arwah, yang malah... Ngebakar suaminya. Don't ask me how that happened. I don't have any idea.

Peter ngeliat Bapaknya udah gosong, terus dia ngerasain sesuatu yang nggak beres. Emaknya tiba-tiba hinggap di langit-langit ruang tengah, Bung! Takut dibunuh emaknya juga, Peter lari... terus ngabur ke loteng. IYA, KE LOTENG!

Wah, bunyi apa tuh???
Wah, kok ada tetesan darah???

Ternyata, Emaknya (si Annie) levitasi aja gitu ke langit-langit loteng... dan MENGGOROK LEHERNYA SENDIRI!!! Pelan-pelan, terus makin lama makin cepet, kayak orang ngegergaji.

F*CK.
WHY.
JUST WHY.
OH MY GOD, MY EYES HURT.
WHY SO GRAPHIC.
WHY...
HUHU
WANNA CRY.

Terus si Peter lari... Masuk ke dalam rumah pohon, terus udah ada umat sekte yang dulu diikuti Neneknya, dan... Nyembah dia.
Mereka merasa bahwa Peter merupakan wadah buat Paimon (?) yang mereka puja.
Whatever that means.

Beres nonton nyesel sih. Visualnya nggak gampang dilupakan dan nggak menyenangkan untuk diingat. AAAAAARRRGGGHHH.
Saya bisa tidur malam itu, tapi terbangun ketika subuh dengan perasaan yang campur aduk karena nginget adegan Charlie kejedot tiang listrik, kepalanya yang potel dan dikerubungi lalat (atau serangga apapun deh), sama adegan emaknya ngegorok leher sendiri.
Sakit banget ni film.

Serem, tapi nggak pake hantu.
Nyakitin pikiran dan jiwa.
Kalo ngerasa depresi, stress, mendingan hati-hati deh nonton film ini. Salah-salah malah terinspirasi.
Nontonnya sama temen atau siapapun, tapi saya saranin jangan sendirian, kalo emang nggak terbiasa sama film horror/thriller/depressing.

Untuk ukuran film horror, buat saya Hereditary oke banget sih. Super duper oke karena bener-bener nakutin.

I will definitely watch this movie again, but surely not in the near future.
And definitely not alone.



P.S.
Hereby some links I read that I think are useful to enrich us regarding Hereditary.
Enjoy!
Annie dan Kreativitasnya
Film Review: ‘Hereditary’
‘Hereditary’ Ending Explained: What the Hell Happened?

Saturday, 14 April 2018

Menikmati Menonton Film dan Bahagia Karenanya

Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri menonton film berjudul "A Quiet Place". Sebuah film yang menceritakan tentang satu keluarga yang mencoba bertahan hidup di dunia tanpa suara. Jika mereka bersuara dan terdengar, maka akan datang (secepat kilat) seekor monster yang langsung melahap pelakunya. A Quiet Place berhasil membuat saya emosional, gemas, dan keluar dari teater dengan perasaan campur aduk, tapi puas. Saya menyukai film itu!

Sebelum film A Quiet Place dimulai, saya menonton trailer film berjudul Rampage. Dibintangi oleh Dwayne Johnson (The Rock), segera saya berasumsi bahwa film ini bukan film "serius". Paling tidak, setengahnya akan diisi oleh aksi-aksi hampir mustahil namun seru, dan paling tidak akan ada beberapa adegan yang lucu, penuh humor. Rampage merupakan film adaptasi dari game. Siang tadi saya menontonnya, dan saya merasa puas. Pertarungan antar hewan-hewan hasil kontaminasi rekayasa genetika yang ditampilkan begitu believeable, dan menegangkan. I feel happy by the time I walk out of the theater.

Sebelum menonton Rampage, saya menyempatkan diri melihat rating-nya di situs IMDb dan Rotten Tomatoes. Rotten Tomatoes memberinya rating 53% (rotten) yang kurang lebih artinya film itu tidak begitu disukai. Namun, ternyata Rampage merupakan film adaptasi game yang mendapat rating tertinggi dari RT. Wow, lumayan juga, bukan?

Capek juga ya nulis baku banget. Huhuhu.

Setelah selesai nonton A Quiet Place dan Rampage, saya jadi mikir.
"Sebenernya apa sih yang kita cari dari menonton film?"

Apakah kita mau sok-sokan bikin resensi di media sosial supaya terlihat keren?
Apa kita mau buat unpopular opinion terhadap sesuatu yang sedang terkenal?
Misalnya: ketika banyak orang memuji film Dilan 1990, kita akan menjadi satu dari sedikit orang yang membencinya, kemudian mengkritik film itu habis-habisan.
Bukan berarti orang yang memiliki unpopular opinion adalah seorang yang snob ya.
Saya hanya berasumsi.

Saya senang menonton film sejak saya kecil. Pertama kali pergi nonton di bioskop, saya sangat takjub melihat ada layar yang begitu besar dan dapat menampilkan film-film yang amat bagus. Film-film yang kualitasnya jauh lebih bagus ketimbang sinetron yang ditayangkan di televisi.

Saya mengagumi Harry Potter sejak film keduanya (sebab film itu yang pertama saya tonton). I fell in love right after I watched The Lord of the Rings trilogy, and I love them ever since, until eternity.
Saya menonton post credits film-film keluaran Marvel sejak awal. Saya merasakan ditungguin mas-mas bioskop yang ingin bersih-bersih dan belum bisa, hanya karena masih ada beberapa orang yang dengan setia menunggu cuplikan film Marvel selanjutnya. Saya merasakan post credit Marvel itu TIDAK DITAYANGKAN, karena filmnya dipotong dengan sengaja tepat begitu filmnya selesai. I felt so betrayed. 

I was a movie snob without any cinematic knowledge. I just hated people who knew about the anomaly of the industry recently and acted like they knew it all.

Sangat menyebalkan, bukan?

Kemudian saya mikir, "Apa sih untungnya buat saya dengan memiliki pandangan seperti itu? Nggak ada!" Apa salahnya banyak orang menyukai apa yang saya sukai? Toh saya bukan orang yang tahu segalanya.

Kemudian ada masanya ketika saya sok-sokan HARUS menonton sebanyak-banyaknya film yang masuk nominasi Best Picture di Academy Awards, supaya saya bisa membanggakan diri saya sendiri, "Aku udah nonton loh!"

Kemudian saya menonton The Artist, pemenang Oscar tahun 2014 kalau nggak salah. DAN SAYA MENGANTUK GUYYYYSSS. Saya belum bisa menyelesaikan Grand Budapest Hotel karena saya bosan di menit-menit awal.

Aku ingin terlihat keren dan berwawasan luas, huhuhu.

Then life got hard.

And then I decided to give zero f**k of that matter. I decided to watch anything I want, to not watch anything I want, and to like and dislike any movie honestly. I promise myself that I will not force myself to like any movie just because it won tens of awards. And my life has been so much easier ever since.

Saya memutuskan untuk menonton film agar saya bahagia.
Saya menyukai film horor. Saya menyukai thriller. Saya menyukai film action, fantasy, dan lain-lain, terserah saya.
Saya sedang menghindari film yang menguras air mata dan tidak berakhir bahagia, kecuali film-film yang sudah terlanjur saya ikuti serialnya (misalnya Transformers dan Ape's series). 

The Killing of a Sacred Deer, adalah film yang banyak dipuji kritikus, tapi saya benci setengah mati.
Saya menontonnya menggunakan promo (jadi harga tiketnya sangat murah), tapi tetap saja saya merasa rugi. Film itu membuat saya sangat nggak nyaman, takut, jijik, mual, dan rasa nggak menyenangkan lainnya.

"Tujuan filmnya emang itu, Suv!"

BODO AMAAAAAAT. I WILL HATE THE MOVIE WITH ALL MY HEART.

HUHUHUHU.

Ketika saya sangat menyukai sebuah film, saya pasti membandingkan selera saya dengan beberapa akun di media sosial. Pasti adaaaaa saja yang selalu negatif. Film apapun yang sedang populer, langsung dikritik dan dikomentari secara negatif habis-habisan oleh akun tersebut. Ready Player One, misalnya. Saya merasa sangat bahagia setelah menonton film itu. Sayangnya, film itu dibenci oleh satu-dua akun yang saya follow. Di situ saya berpikir, "Masalah hidupnya apa ya, sampai-sampai film ini dibenci banget?"

Tidak ada film yang sempurna, saya akui. Tapi, terkadang saya mengesampingkan beberapa hal untuk meningkatkan kadar bahagia saya. Film-film Marvel, misalnya. We all know that the franchise sells its A-list movie stars, all the CGI technology, those shiny Iron Man suits, all the explosions, and the MCU itself. Kadang saya nggak berharap banyak dengan alur ceritanya (apalagi moral of the story, nggak ada waktu mikirinnya!). Saya memang mencari hype, menunggu kekerenan apalagi yang akan ditampilkan oleh Marvel. Dengan begitu saya akan bahagia.

Menonton Pengabdi Setan. I don't effing care about the story plot. It's a horror movie. I want to feel scared. As long as the movie haunts me, it exceeds my expectations. Masuk akal, itu sudah cukup. Sempurna? Tidak perlu.

Saya bahkan belum bisa menyelesaikan The Godfather Trilogy dan Star Wars Series. Saya ingin terlihat keren dengan menyelesaikan film-film itu kemudian ngefans. Tapi belum bisa, jadi ya tidak usah dipaksakan. Saya mengerti, saya bisa nyambung kalau diajak ngobrol, saya sudah senang kok. Banyak hal yang tidak perlu kita paksakan. Nggak perlu sok-sokan jadi ahli kalau memang tidak bisa dan tidak ingin hanya agar dianggap keren oleh teman-teman.

Akhir kata, Ingsun titip tajug lan fakir miskin, seperti kata Sunan Gunung Jati.

Nggak ding.

Maaf garing.

Lakukanlah hal yang membuatmu bahagia. Selama nggak merugikan orang lain, jangan pikirin perkataan-perkataan negatif yang datang. Kalau dengan menonton filmnya Raditya Dika bisa membuatmu bahagia, lakukanlah! Kalau menurutmu DC lebih baik dari Marvel, saya bodo amat. Tidak peduli. Saya menonton dua-duanya (meskipun saya tim Marvel).

Sayapun senang-senang saja join the hype dari film-film yang terkenal. Saya happy to be mainstream. Nggak ada yang salah dengan hal itu. Nggak usah maksa-maksain jadi hipster kalau malah membuat nggak nyaman.

Sudah ya. Saya mau lanjut baca Aroma Karsa lagi. Nanggung!