Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri menonton film berjudul "A Quiet Place". Sebuah film yang menceritakan tentang satu keluarga yang mencoba bertahan hidup di dunia tanpa suara. Jika mereka bersuara dan terdengar, maka akan datang (secepat kilat) seekor monster yang langsung melahap pelakunya. A Quiet Place berhasil membuat saya emosional, gemas, dan keluar dari teater dengan perasaan campur aduk, tapi puas. Saya menyukai film itu!
Sebelum film A Quiet Place dimulai, saya menonton trailer film berjudul Rampage. Dibintangi oleh Dwayne Johnson (The Rock), segera saya berasumsi bahwa film ini bukan film "serius". Paling tidak, setengahnya akan diisi oleh aksi-aksi hampir mustahil namun seru, dan paling tidak akan ada beberapa adegan yang lucu, penuh humor. Rampage merupakan film adaptasi dari game. Siang tadi saya menontonnya, dan saya merasa puas. Pertarungan antar hewan-hewan hasil kontaminasi rekayasa genetika yang ditampilkan begitu believeable, dan menegangkan. I feel happy by the time I walk out of the theater.
Sebelum menonton Rampage, saya menyempatkan diri melihat rating-nya di situs IMDb dan Rotten Tomatoes. Rotten Tomatoes memberinya rating 53% (rotten) yang kurang lebih artinya film itu tidak begitu disukai. Namun, ternyata Rampage merupakan film adaptasi game yang mendapat rating tertinggi dari RT. Wow, lumayan juga, bukan?
Capek juga ya nulis baku banget. Huhuhu.
Setelah selesai nonton A Quiet Place dan Rampage, saya jadi mikir.
"Sebenernya apa sih yang kita cari dari menonton film?"
Apakah kita mau sok-sokan bikin resensi di media sosial supaya terlihat keren?
Apa kita mau buat unpopular opinion terhadap sesuatu yang sedang terkenal?
Misalnya: ketika banyak orang memuji film Dilan 1990, kita akan menjadi satu dari sedikit orang yang membencinya, kemudian mengkritik film itu habis-habisan.
Bukan berarti orang yang memiliki unpopular opinion adalah seorang yang snob ya.
Saya hanya berasumsi.
Saya senang menonton film sejak saya kecil. Pertama kali pergi nonton di bioskop, saya sangat takjub melihat ada layar yang begitu besar dan dapat menampilkan film-film yang amat bagus. Film-film yang kualitasnya jauh lebih bagus ketimbang sinetron yang ditayangkan di televisi.
Saya mengagumi Harry Potter sejak film keduanya (sebab film itu yang pertama saya tonton). I fell in love right after I watched The Lord of the Rings trilogy, and I love them ever since, until eternity.
Saya menonton post credits film-film keluaran Marvel sejak awal. Saya merasakan ditungguin mas-mas bioskop yang ingin bersih-bersih dan belum bisa, hanya karena masih ada beberapa orang yang dengan setia menunggu cuplikan film Marvel selanjutnya. Saya merasakan post credit Marvel itu TIDAK DITAYANGKAN, karena filmnya dipotong dengan sengaja tepat begitu filmnya selesai. I felt so betrayed.
I was a movie snob without any cinematic knowledge. I just hated people who knew about the anomaly of the industry recently and acted like they knew it all.
Sangat menyebalkan, bukan?
Kemudian saya mikir, "Apa sih untungnya buat saya dengan memiliki pandangan seperti itu? Nggak ada!" Apa salahnya banyak orang menyukai apa yang saya sukai? Toh saya bukan orang yang tahu segalanya.
Kemudian ada masanya ketika saya sok-sokan HARUS menonton sebanyak-banyaknya film yang masuk nominasi Best Picture di Academy Awards, supaya saya bisa membanggakan diri saya sendiri, "Aku udah nonton loh!"
Kemudian saya menonton The Artist, pemenang Oscar tahun 2014 kalau nggak salah. DAN SAYA MENGANTUK GUYYYYSSS. Saya belum bisa menyelesaikan Grand Budapest Hotel karena saya bosan di menit-menit awal.
Aku ingin terlihat keren dan berwawasan luas, huhuhu.
Then life got hard.
And then I decided to give zero f**k of that matter. I decided to watch anything I want, to not watch anything I want, and to like and dislike any movie honestly. I promise myself that I will not force myself to like any movie just because it won tens of awards. And my life has been so much easier ever since.
Saya memutuskan untuk menonton film agar saya bahagia.
Saya menyukai film horor. Saya menyukai thriller. Saya menyukai film action, fantasy, dan lain-lain, terserah saya.
Saya sedang menghindari film yang menguras air mata dan tidak berakhir bahagia, kecuali film-film yang sudah terlanjur saya ikuti serialnya (misalnya Transformers dan Ape's series).
The Killing of a Sacred Deer, adalah film yang banyak dipuji kritikus, tapi saya benci setengah mati.
Saya menontonnya menggunakan promo (jadi harga tiketnya sangat murah), tapi tetap saja saya merasa rugi. Film itu membuat saya sangat nggak nyaman, takut, jijik, mual, dan rasa nggak menyenangkan lainnya.
"Tujuan filmnya emang itu, Suv!"
BODO AMAAAAAAT. I WILL HATE THE MOVIE WITH ALL MY HEART.
HUHUHUHU.
Ketika saya sangat menyukai sebuah film, saya pasti membandingkan selera saya dengan beberapa akun di media sosial. Pasti adaaaaa saja yang selalu negatif. Film apapun yang sedang populer, langsung dikritik dan dikomentari secara negatif habis-habisan oleh akun tersebut. Ready Player One, misalnya. Saya merasa sangat bahagia setelah menonton film itu. Sayangnya, film itu dibenci oleh satu-dua akun yang saya follow. Di situ saya berpikir, "Masalah hidupnya apa ya, sampai-sampai film ini dibenci banget?"
Tidak ada film yang sempurna, saya akui. Tapi, terkadang saya mengesampingkan beberapa hal untuk meningkatkan kadar bahagia saya. Film-film Marvel, misalnya. We all know that the franchise sells its A-list movie stars, all the CGI technology, those shiny Iron Man suits, all the explosions, and the MCU itself. Kadang saya nggak berharap banyak dengan alur ceritanya (apalagi moral of the story, nggak ada waktu mikirinnya!). Saya memang mencari hype, menunggu kekerenan apalagi yang akan ditampilkan oleh Marvel. Dengan begitu saya akan bahagia.
Menonton Pengabdi Setan. I don't effing care about the story plot. It's a horror movie. I want to feel scared. As long as the movie haunts me, it exceeds my expectations. Masuk akal, itu sudah cukup. Sempurna? Tidak perlu.
Saya bahkan belum bisa menyelesaikan The Godfather Trilogy dan Star Wars Series. Saya ingin terlihat keren dengan menyelesaikan film-film itu kemudian ngefans. Tapi belum bisa, jadi ya tidak usah dipaksakan. Saya mengerti, saya bisa nyambung kalau diajak ngobrol, saya sudah senang kok. Banyak hal yang tidak perlu kita paksakan. Nggak perlu sok-sokan jadi ahli kalau memang tidak bisa dan tidak ingin hanya agar dianggap keren oleh teman-teman.
Akhir kata, Ingsun titip tajug lan fakir miskin, seperti kata Sunan Gunung Jati.
Nggak ding.
Maaf garing.
Lakukanlah hal yang membuatmu bahagia. Selama nggak merugikan orang lain, jangan pikirin perkataan-perkataan negatif yang datang. Kalau dengan menonton filmnya Raditya Dika bisa membuatmu bahagia, lakukanlah! Kalau menurutmu DC lebih baik dari Marvel, saya bodo amat. Tidak peduli. Saya menonton dua-duanya (meskipun saya tim Marvel).
Sayapun senang-senang saja join the hype dari film-film yang terkenal. Saya happy to be mainstream. Nggak ada yang salah dengan hal itu. Nggak usah maksa-maksain jadi hipster kalau malah membuat nggak nyaman.
Sudah ya. Saya mau lanjut baca Aroma Karsa lagi. Nanggung!
No comments:
Post a Comment